Friday 20 May 2016

Ronda Malam di Gunung Guntur

Bres...bres... bres... linggis itu terus ditugarkan ke dinding batuan berpasir. Bapak setengah baya itu hirau terhadap lalu lalang para pejalan kaki. Ia tetap berada di bawah lubang galian. Sesekali ia jongkok memisahkan antara batu kerikil dan pasir. Sepertinya ia sedang mencoba mengais rezeki dengan menambang pasir.

Itulah sisi lain pemandangan dari kegiatan salah satu warga di kaki Gunung Guntur pagi itu. Ketika kami akan melakukan pendakian melalui jalur curug Citiis, beberapa waktu lalu. Aktivitas penambangan pasir kerap terjadi di kawasan itu. Bahkan telah menjadi mata pencaharian sebagian warga.
Pada awalnya rencana melakukan pendakian ke gunung yang berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat hampir saja batal. Karena sebagian mengundurkan diri. Alasannya merasa khawatir oleh kondisi cuaca buruk yang terus terjadi antara bulan Januari-Februari. Memang pada bulan itu intensitas hujan disertai petir cukup tinggi.

Hanya bertiga memutuskan tetap berangkat. Yaitu, Gaston, Hardi dan saya sendiri. Pertimbangannya sudah jauh-jauh hari, prepentif mempersiapkan segalanya. Keputusan tetap berangkat itu bukan bertujuan menantang alam. Tetapi menikmati alam. Karena alam tidak untuk ditantang.
Wajar saja timbul rasa khawatir yang disebabkan kondisi cuaca buruk. Gunung dengan ketinggian 2.249 mdpl itu. Dari lereng sampai puncak gunung jarang ditumbuhi pohon. Arealnya cukup terbuka. Apabila hujan sangat berisiko terhadap sambaran petir. Tetapi yang terpenting adalah tetap waspada dan berdoa.



Seiring berjalannya waktu. Ternyata yang berangkat bertambah menjadi sembilan orang. Keikutsertaan teman-teman lain memberikan semangat kepada kami bertiga. Jujur saja, saya pribadi merasa was-was. Oleh seringnya hujan turun disertai petir pada bulan itu. Memang musibah bisa terjadi kapan, dan di mana saja. Yang terpenting adalah keyakinan pada diri sendiri, dan percaya kepada Yang Maha Kuasa.



Diiringi doa, sekitar pukul 11.00 WIB pada Kamis malam. Dua mini bus meluncur menuju Kabupaten Garut. Melalui jalan Cibubur, Cilengsi, Jonggol terus ke Cianjur. Kami sengaja tidak lewat jalan tol karena dikhawatirkan terjebak kemacetan. Sebab jelang libur akhir pekan biasanya banyak warga Jabotabek liburan ke luar kota.
Memasuki daerah Cariu, Kabupaten Bogor kondisi jalanan sedikit bergelombang. Tetapi laju kendaraan masih dapat dipacu kencang. Tak terasa kota Cianjur dan Padalarang pun sudah terlewati. Kami tiba di Cimahi dan langsung masuk tol menuju arah Cilenyi, Bandung.


Di Cileunyi kami berhenti dua kali. Pertama kami istirahat di rest area  tol Cileunyi sekitar pukul 2.00 WIB dini hari. Kami kembali mampir ke sebuah mini market setelah keluar tol menuju arah Garut. Sambil menikmati tahu hangat. Salah satu makanan khas Sumedang yang banyak dijajakan di sepanjang jalan.
Kira-kira pukul 5.00 WIB pagi rombongan kami memasuki Tarogong, Garut. Dari jalan raya sudah terlihat panorama Gunung Guntur. Walaupun gunung sudah kelihatan. Kami masih harus bolak-balik mencari tahu menuju jalur pendakian. Maklum belum pernah ke Gunung Guntur. Tak butuh waktu lama kami tiba di Kampung Citiis atau disebut jalan PLP.


Sebenarnya untuk menuju jalur pendakian ke Gunung Guntur ada dua pilihan. Pertama lewat jalur curug Citiis. Berada di Kampung Citiis/PLP, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut. Sedangkan jalur kedua, bisa melewati jalur Cikahuripan dari Desa Pakuhaji daerah Samarang.
Untuk lewat jalur Citiis bisa berpatokan pada POM bensin yang berada di Desa Tanjung. Kalau dari arah Bandung berada di sebelah kanan. Sedangkan dari Garut kota berada di sebelah kiri. Jarak dari alun-alun Kota Garut ke Gunung Guntur sekitar 10 km.

Apabila dari Jakarta, Bekasi bisa naik bus jurusan Garut. Kemudian turun di terminal, dilanjutkan naik angkot jurusan Cipanas. Turun di Desa Tanjung dekat POM bensin. Atau di gerbang Kampung Citiis. Jika tidak membawa kendaraan bisa langsung naik ojek ke basecamp di rumah ketua Rt/Rw, sama saja.
Di basecamp ini pendaki wajib melaporkan diri. Dengan menuliskan nama-nama yang akan naik gunung. Meninggalkan foto copy KTP, serta mencatat nomor HP. Untuk koordinasi, pendaki juga akan membawa selembar kertas untuk melapor kembali ke petugas di pos 3.




Kira-kira pukul 6.00 WIB pagi akhirnya rombongan kami tiba di Kampung Citiis. Kami langsung lapor minta ijin kepada Nandang, ketua Rt 02. Ternyata di rumah kediaman ketua Rt sudah dipenuhi para pendaki lain. Bahkan di mesjid juga banyak pendaki yang sedang istirahat dan numpang tidur.
Bagi yang membawa kendaraan motor atau mobil. Bisa diparkir dititipkan dekat mesjid dan di basecamp rumah kediaman ketua Rt dan Rw setempat. Cukup aman katanya, walaupun harus nginep seperti diutarakan Nandang kepada kami.





Setelah berdoa bersama dipimpin Ipin dan Gaston. Sekitar pukul 7.00 WIB kami berangkat. Perjalanan normal menuju puncak Gunung Guntur bisa ditempuh 1 sampai 2 jam. Untuk mempercepat waktu tempuh para pendaki bisa numpang truk penambang pasir yang sering lalu lalang.


Begitu pun rombongan kami, dapat sedikit ngirit energi diantar mendekati areal galian pasir. Sayang, kendaraan sejenis mini bus tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh. Disebabkan kondisi jalan sangat buruk. Kecuali truk pasir karena mempunyai roda ban tinggi.


Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Menyusuri jalanan berbatu bercampur pasir. Di jalur ini akan dijumpai batu-batu besar dan bekas galian pasir. Di kaki gunung, sebelah selatan tampak dinding lempengan lapisan batuan. Memanjang nyambung ke lereng  Gunung Guntur. Kemungkinan bekas aliran lahar letusan pada masa lalu.  
Yang menarik pemandangan ke atas gunung semakin terbuka. Kabut putih yang menyelimuti puncak gunung lambat laun mulai sirna. Sang surya pagi itu cukup cerah menyinari puncak Gunung Guntur. Rerumputan membentuk padang savana mulai terlihat indah. Sehingga teman-teman semakin bersemangat melangkahkan kaki agar cepat bisa menggapai puncaknya.



Tak lama kami memasuki jalur menuju hutan. Di sepanjang jalur ini banyak ditumbuhi pohon rindang. Daun-daunnya yang hijau memberi teduh kepada para pendaki. Di jalur ini juga akan dijumpai pula warung-warung dan tempat untuk istirahat.
Menjelang tiba di pos 2 gemuruh aliran curug Citiis mulai terdengar mengiringi perjalanan kami. Dari rimbunya pohon terdengar suara kicau burung-burung. Seperti turut menyambut kehadiran kami. Sekaligus memberitahukan tentang perjalanan akan lebih sulit. Padahal rasa lelah mulai mendera. Keringat pun terus bercucuran membasahi sekujur tubuh.


Benar juga. Setelah melewati pos 2, pendakian semakin berat. Jalur jalan berbatu serta curam. Dengan tingkat kemiringan antara 45 sampai 75 derajat. Banyak para pendaki berjibaku menaklukkan medan jalur ini. Harus diwaspadai pula ketika kaki-kaki meniti bebatuan. Karena rawan longsor, jatuh membahayakan orang di bawahnya.
Sebenarnya lewat jalur curug Citiis jaraknya tidak terlalu jauh. Tetapi jalurnya lumayan menantang. Membutuhkan adrenalin untuk melewatinya. Tak heran, Gunung Guntur sering disebut Semeru-nya Jawa Barat. Woh..! Dagu ketemu lutut memang terjadi. Sebuah tantangan menarik bagi para pecinta alam.
Hari semakin siang. Mendekati pos 3, pohon-pohon mulai jarang. Sinar matahari mulai terasa menyengat membakar badan. Dari lembah masih terdengar gemuruh suara aliran curug Citiis. Seorah bersorak memberi semangat kepada kami untuk tidak menyerah.


Akhirnya kami tiba di pos 3 sekitar pukul 10.00 WIB siang. Ketua rombongan Ipin dan Gaston, sigap melapor kepada petugas jaga. Ada pesan dari petugas. Yaitu, kami agar tetap menjaga barang bawaan masing-masing. Karena sering terjadi pencurian yang menyamar sebagai pendaki, katanya.
Tampak di sekitar pos dan di lereng gunung sudah banyak tenda berdiri. Pihak pengelola Gunung Guntur melarang para pendaki berkemah di puncak gunung. Sebab apabila turun hujan disertai petir akan sangat berbahaya. Bahkan larangan itu terpasang di spanduk berukuran besar.

Setelah mendapatkan lokasi yang cocok untuk berkemah. Langsung saja kami bersama-sama mendirikan dua tenda. Tidak butuh waktu lama dua kemah pun berdiri saling berhadapan.  Sedangkan Naomi dan Henda, dengan cekatan kompak menjadi juru masak. Sementara Adam dan Anggit kebagian tugas mengambil air di lembah untuk persediaan.
Pada intinya kami selalu saling kerjasama dalam berbagai hal. Memang itu yang seharusnya dilakukan para pendaki. Berkat kerjasama tim, tidak berapa lama kami pun bisa menyantap makanan. Mengisi perut yang sudah keroncongan.
Matahari semakin condong ke barat. Puncak gunung tampak mulai diselimuti kabut putih. Terlihat di sebelah selatan awan hitam mulai mendekat. Benar saja, sekitar pukul 4.00 WIB sore hujan pun turun diiringi suara gemuruh guntur disertai kilatan petir.
Agar tidak ada hal-hal yang diinginkan. Saya meminta kepada teman-teman untuk mematikan handphone. Sebab di tempat terbuka sinyal  handphone rentan mengundang sambaran kilat petir. Ini jelas sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa.


Semakin sore hujan semakin lebat. Di tengah guyuran hujan lebat. Salah satu tenda mengalami kebocoran. Kemungkinan ada kesalahan sewaktu pemasangannya. Terpaksa kami berdesak-desakan di dalam tenda satunya lagi.
Siang akan berganti malam. Alam malam mulai hadir membawa hawa dingin. Mulai menusuk ke pori-pori kulit. Sambil nunggu hujan reda kami asyik ngobrol ditemani kopi panas, untuk menghangatkan perut. Sekitar pukul 9.00 WIB malam hujan pun reda.
Pandangan jauh ke lembah sebelah timur. Kota Garut kerlap-kerlip memancarkan kilau cahaya seperti bertabur batu permata. Malam pun semakin larut. Nyanyian binatang malam terdengar bersahutan. Semilir angin menerpa rerumputan. Dia angkasa bulan dan bintang mulai memancarkan cahaya. Alam raya seolah berdoa kepada Sang Pencipta. Sungguh panorama yang indah.
Jelang tengah malam, kami berbagi tugas melakukan ronda. Giliran pertama Anggit dan Ipin mulai pukul 12.00- 02.00 WIB. Dilanjutkan Saya dan Gaston sampai pagi. Sedangkan yang lain pulas untuk menggapai mimpinya masing-masing.




Pagi hari. Satu satu persatu para pendaki mulai bangun, keluar dari tendanya. Untuk menikmati udara pagi dan melihat kemunculan sunrise. Sayang, sang surya sedikit malu-malu bersembunyi di balik awan putih. Tetapi pancaran cahayanya tetap hadir menyapa para pendaki. Sekaligus memberikan kehangatan dan cerah pada alam sekitarnya.
Pukul 9.00 WIB pagi. Koki dadakan, Naomi dan Hardi dibantu Hendra kembali beraksi menyiapkan sarapan pagi. Wahhh..., ternyata racikan masakan mereka pagi itu lebih manyos, meminjam istilah Pak Bondan. Sehingga kami dapat menikmati hidangannya. Sekaligus memberi energi untuk perjalanan pulang.
Selesai sarapan pagi, kami beres-beres untuk turun gunung. Perjalanan pulang ternyata lebih cepat. Walaupun perjalanan turun tidak bisa dibilang enteng. Karakter jalur berbatu yang curam butuh konsentrasi dan kewaspadaan. Bahkan Adam, yang bertubuh bongsor harus kerja keras menuruni batu-batu curam itu. Tetapi ia tetap semangat.

Menjelang tiba di pos 2. Kami melihat pemandangan kurang sedap di jurang dekat pinggir kali. Ada seongok gunukan sampah. Kemungkinan sampah-sampah itu dibuang oleh oknum pendaki. Ini sangat disayangkan. Seharusnya sampah itu dibawa turun ke basecamp. Disimpan ke tempat sampah yang sudah ditentukan.
Kira-kira pukul 11.00 WIB siang. Rombongan kami tiba di basecamp. Lancarnya pendakian dan ketika turun gunung. Ini berkat kerjasama solid antar teman-teman. Saling bantu, saling suport, telah menjadi amunisi. Kekompakan tim sangat berharga bagi kami selama dalam melakuan pendakian. Sehingga kami bisa kembali pulang ke Jakarta dengan selamat. Mantap!!!

0 komentar:

Post a Comment