Bres...bres... bres... linggis itu terus ditugarkan ke dinding batuan
berpasir. Bapak setengah baya itu hirau terhadap lalu lalang para pejalan kaki.
Ia tetap berada di bawah lubang galian. Sesekali ia jongkok memisahkan antara batu
kerikil dan pasir. Sepertinya ia sedang mencoba mengais rezeki dengan menambang
pasir.
Itulah sisi lain pemandangan dari kegiatan salah satu warga di kaki Gunung Guntur
pagi itu. Ketika kami akan melakukan pendakian melalui jalur curug Citiis,
beberapa waktu lalu. Aktivitas penambangan pasir kerap terjadi di kawasan itu.
Bahkan telah menjadi mata pencaharian sebagian warga.
Pada awalnya rencana melakukan pendakian ke gunung yang berada di Kabupaten
Garut, Jawa Barat hampir saja batal. Karena sebagian mengundurkan diri. Alasannya
merasa khawatir oleh kondisi cuaca buruk yang terus terjadi antara bulan Januari-Februari.
Memang pada bulan itu intensitas hujan disertai petir cukup tinggi.
Hanya bertiga memutuskan tetap berangkat. Yaitu, Gaston, Hardi dan saya
sendiri. Pertimbangannya sudah jauh-jauh hari, prepentif mempersiapkan segalanya.
Keputusan tetap berangkat itu bukan bertujuan menantang alam. Tetapi menikmati
alam. Karena alam tidak untuk ditantang.
Wajar saja timbul rasa khawatir yang disebabkan kondisi cuaca buruk. Gunung
dengan ketinggian 2.249 mdpl itu. Dari lereng sampai puncak gunung jarang ditumbuhi
pohon. Arealnya cukup terbuka. Apabila hujan sangat berisiko terhadap sambaran
petir. Tetapi yang terpenting adalah tetap waspada dan berdoa.
Seiring berjalannya waktu. Ternyata yang berangkat bertambah menjadi
sembilan orang. Keikutsertaan teman-teman lain memberikan semangat kepada kami
bertiga. Jujur saja, saya pribadi merasa was-was. Oleh seringnya hujan turun
disertai petir pada bulan itu. Memang musibah bisa terjadi kapan, dan di mana saja.
Yang terpenting adalah keyakinan pada diri sendiri, dan percaya kepada Yang
Maha Kuasa.
Diiringi doa, sekitar pukul 11.00 WIB pada Kamis malam. Dua mini bus
meluncur menuju Kabupaten Garut. Melalui jalan Cibubur, Cilengsi, Jonggol terus
ke Cianjur. Kami sengaja tidak lewat jalan tol karena dikhawatirkan terjebak
kemacetan. Sebab jelang libur akhir pekan biasanya banyak warga Jabotabek liburan
ke luar kota.
Memasuki daerah Cariu, Kabupaten Bogor kondisi jalanan sedikit
bergelombang. Tetapi laju kendaraan masih dapat dipacu kencang. Tak terasa kota
Cianjur dan Padalarang pun sudah terlewati. Kami tiba di Cimahi dan langsung
masuk tol menuju arah Cilenyi, Bandung.
Di Cileunyi kami berhenti dua kali. Pertama kami istirahat di rest area tol Cileunyi sekitar pukul 2.00 WIB dini hari.
Kami kembali mampir ke sebuah mini market setelah keluar tol menuju arah Garut.
Sambil menikmati tahu hangat. Salah satu makanan khas Sumedang yang banyak dijajakan
di sepanjang jalan.
Kira-kira pukul 5.00 WIB pagi rombongan kami memasuki Tarogong, Garut. Dari
jalan raya sudah terlihat panorama Gunung Guntur. Walaupun gunung sudah kelihatan.
Kami masih harus bolak-balik mencari tahu menuju jalur pendakian. Maklum belum
pernah ke Gunung Guntur. Tak butuh waktu lama kami tiba di Kampung Citiis atau
disebut jalan PLP.
Sebenarnya untuk menuju jalur pendakian ke Gunung Guntur ada dua pilihan. Pertama
lewat jalur curug Citiis. Berada di Kampung Citiis/PLP, Kecamatan Tarogong
Kaler, Kabupaten Garut. Sedangkan jalur kedua, bisa melewati jalur Cikahuripan
dari Desa Pakuhaji daerah Samarang.
Untuk lewat jalur Citiis bisa berpatokan pada POM bensin yang berada di
Desa Tanjung. Kalau dari arah Bandung berada di sebelah kanan. Sedangkan dari
Garut kota berada di sebelah kiri. Jarak dari alun-alun Kota Garut ke Gunung Guntur sekitar 10 km.
Apabila dari Jakarta, Bekasi bisa naik bus jurusan Garut. Kemudian turun di
terminal, dilanjutkan naik angkot jurusan Cipanas. Turun di Desa Tanjung dekat
POM bensin. Atau di gerbang Kampung Citiis. Jika tidak membawa kendaraan bisa langsung
naik ojek ke basecamp di rumah ketua Rt/Rw, sama saja.
Di basecamp ini pendaki wajib melaporkan diri. Dengan menuliskan nama-nama
yang akan naik gunung. Meninggalkan foto copy KTP, serta mencatat nomor HP. Untuk
koordinasi, pendaki juga akan membawa selembar kertas untuk melapor kembali ke
petugas di pos 3.
Kira-kira pukul 6.00 WIB pagi akhirnya rombongan kami tiba di Kampung Citiis.
Kami langsung lapor minta ijin kepada Nandang, ketua Rt 02. Ternyata di rumah
kediaman ketua Rt sudah dipenuhi para pendaki lain. Bahkan di mesjid juga banyak
pendaki yang sedang istirahat dan numpang tidur.
Bagi yang membawa kendaraan motor atau mobil. Bisa diparkir dititipkan
dekat mesjid dan di basecamp rumah kediaman ketua Rt dan Rw setempat. Cukup
aman katanya, walaupun harus nginep seperti diutarakan Nandang kepada kami.
Setelah berdoa bersama dipimpin Ipin dan Gaston. Sekitar pukul 7.00 WIB
kami berangkat. Perjalanan normal menuju puncak Gunung Guntur bisa ditempuh 1
sampai 2 jam. Untuk mempercepat waktu tempuh para pendaki bisa numpang truk
penambang pasir yang sering lalu lalang.
Begitu pun rombongan kami, dapat sedikit ngirit energi diantar mendekati areal galian pasir. Sayang, kendaraan sejenis mini bus tidak bisa melanjutkan perjalanan lebih jauh. Disebabkan kondisi jalan sangat buruk. Kecuali truk pasir karena mempunyai roda ban tinggi.
Kemudian perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Menyusuri jalanan
berbatu bercampur pasir. Di jalur ini akan dijumpai batu-batu besar dan bekas galian
pasir. Di kaki gunung, sebelah selatan tampak dinding lempengan lapisan batuan.
Memanjang nyambung ke lereng Gunung
Guntur. Kemungkinan bekas aliran lahar letusan pada masa lalu.
Yang menarik pemandangan ke atas gunung semakin terbuka. Kabut putih yang menyelimuti
puncak gunung lambat laun mulai sirna. Sang surya pagi itu cukup cerah
menyinari puncak Gunung Guntur. Rerumputan membentuk padang savana mulai
terlihat indah. Sehingga teman-teman semakin bersemangat melangkahkan kaki agar
cepat bisa menggapai puncaknya.
Tak lama kami memasuki jalur menuju hutan. Di sepanjang jalur ini banyak
ditumbuhi pohon rindang. Daun-daunnya yang hijau memberi teduh kepada para
pendaki. Di jalur ini juga akan dijumpai pula warung-warung dan tempat untuk
istirahat.
Menjelang tiba di pos 2 gemuruh aliran curug Citiis mulai terdengar
mengiringi perjalanan kami. Dari rimbunya pohon terdengar suara kicau burung-burung.
Seperti turut menyambut kehadiran kami. Sekaligus memberitahukan tentang
perjalanan akan lebih sulit. Padahal rasa lelah mulai mendera. Keringat pun
terus bercucuran membasahi sekujur tubuh.
Benar juga. Setelah melewati pos 2, pendakian semakin berat. Jalur jalan berbatu
serta curam. Dengan tingkat kemiringan antara 45 sampai 75 derajat. Banyak para
pendaki berjibaku menaklukkan medan jalur ini. Harus diwaspadai pula ketika kaki-kaki
meniti bebatuan. Karena rawan longsor, jatuh membahayakan orang di bawahnya.
Sebenarnya lewat jalur curug Citiis jaraknya tidak terlalu jauh. Tetapi
jalurnya lumayan menantang. Membutuhkan adrenalin untuk melewatinya. Tak heran,
Gunung Guntur sering disebut Semeru-nya Jawa Barat. Woh..! Dagu ketemu lutut memang terjadi. Sebuah tantangan menarik
bagi para pecinta alam.
Hari semakin siang. Mendekati pos 3, pohon-pohon mulai jarang. Sinar matahari
mulai terasa menyengat membakar badan. Dari lembah masih terdengar gemuruh
suara aliran curug Citiis. Seorah bersorak memberi semangat kepada kami untuk
tidak menyerah.
Akhirnya kami tiba di pos 3 sekitar pukul 10.00 WIB siang. Ketua rombongan
Ipin dan Gaston, sigap melapor kepada petugas jaga. Ada pesan dari petugas.
Yaitu, kami agar tetap menjaga barang bawaan masing-masing. Karena sering
terjadi pencurian yang menyamar sebagai pendaki, katanya.
Tampak di sekitar pos dan di lereng gunung sudah banyak tenda berdiri. Pihak
pengelola Gunung Guntur melarang para pendaki berkemah di puncak gunung. Sebab apabila
turun hujan disertai petir akan sangat berbahaya. Bahkan larangan itu terpasang
di spanduk berukuran besar.
Setelah mendapatkan lokasi yang cocok untuk berkemah. Langsung saja kami bersama-sama
mendirikan dua tenda. Tidak butuh waktu lama dua kemah pun berdiri saling
berhadapan. Sedangkan Naomi dan Henda, dengan
cekatan kompak menjadi juru masak. Sementara Adam dan Anggit kebagian tugas
mengambil air di lembah untuk persediaan.
Pada intinya kami selalu saling kerjasama dalam berbagai hal. Memang itu
yang seharusnya dilakukan para pendaki. Berkat kerjasama tim, tidak berapa lama
kami pun bisa menyantap makanan. Mengisi perut yang sudah keroncongan.
Matahari semakin condong ke barat. Puncak gunung tampak mulai diselimuti
kabut putih. Terlihat di sebelah selatan awan hitam mulai mendekat. Benar saja,
sekitar pukul 4.00 WIB sore hujan pun turun diiringi suara gemuruh guntur disertai
kilatan petir.
Agar tidak ada hal-hal yang diinginkan. Saya meminta kepada teman-teman untuk
mematikan handphone. Sebab di tempat terbuka sinyal handphone rentan mengundang sambaran kilat
petir. Ini jelas sangat berbahaya bagi keselamatan jiwa.
Semakin sore hujan semakin lebat. Di tengah guyuran hujan lebat. Salah satu
tenda mengalami kebocoran. Kemungkinan ada kesalahan sewaktu pemasangannya. Terpaksa
kami berdesak-desakan di dalam tenda satunya lagi.
Siang akan berganti malam. Alam malam mulai hadir membawa hawa dingin. Mulai
menusuk ke pori-pori kulit. Sambil nunggu hujan reda kami asyik ngobrol ditemani
kopi panas, untuk menghangatkan perut. Sekitar pukul 9.00 WIB malam hujan pun
reda.
Pandangan jauh ke lembah sebelah timur. Kota Garut kerlap-kerlip memancarkan
kilau cahaya seperti bertabur batu permata. Malam pun semakin larut. Nyanyian
binatang malam terdengar bersahutan. Semilir angin menerpa rerumputan. Dia
angkasa bulan dan bintang mulai memancarkan cahaya. Alam raya seolah berdoa
kepada Sang Pencipta. Sungguh panorama yang indah.
Jelang tengah malam, kami berbagi tugas melakukan ronda. Giliran pertama
Anggit dan Ipin mulai pukul 12.00- 02.00 WIB. Dilanjutkan Saya dan Gaston
sampai pagi. Sedangkan yang lain pulas untuk menggapai mimpinya masing-masing.
Pagi hari. Satu satu persatu para pendaki mulai bangun, keluar dari tendanya.
Untuk menikmati udara pagi dan melihat kemunculan sunrise. Sayang, sang surya sedikit malu-malu bersembunyi di balik
awan putih. Tetapi pancaran cahayanya tetap hadir menyapa para pendaki.
Sekaligus memberikan kehangatan dan cerah pada alam sekitarnya.
Pukul 9.00 WIB pagi. Koki dadakan, Naomi dan Hardi dibantu Hendra kembali beraksi
menyiapkan sarapan pagi. Wahhh..., ternyata racikan masakan mereka pagi itu lebih
manyos, meminjam istilah Pak Bondan.
Sehingga kami dapat menikmati hidangannya. Sekaligus memberi energi untuk perjalanan
pulang.
Selesai sarapan pagi, kami beres-beres untuk turun gunung. Perjalanan
pulang ternyata lebih cepat. Walaupun perjalanan turun tidak bisa dibilang
enteng. Karakter jalur berbatu yang curam butuh konsentrasi dan kewaspadaan. Bahkan
Adam, yang bertubuh bongsor harus kerja keras menuruni batu-batu curam itu.
Tetapi ia tetap semangat.
Menjelang tiba di pos 2. Kami melihat pemandangan kurang sedap di jurang
dekat pinggir kali. Ada seongok gunukan sampah. Kemungkinan sampah-sampah itu dibuang
oleh oknum pendaki. Ini sangat disayangkan. Seharusnya sampah itu dibawa turun
ke basecamp. Disimpan ke tempat sampah yang sudah ditentukan.
Kira-kira pukul 11.00 WIB siang. Rombongan kami tiba di basecamp. Lancarnya
pendakian dan ketika turun gunung. Ini berkat kerjasama solid antar
teman-teman. Saling bantu, saling suport, telah menjadi amunisi. Kekompakan tim
sangat berharga bagi kami selama dalam melakuan pendakian. Sehingga kami bisa kembali
pulang ke Jakarta dengan selamat. Mantap!!!
0 komentar:
Post a Comment