Monday 27 October 2014
Atraksi Speed Boat di Keindahan Telaga Sarangan
Jantung saya
seperti mau copot. Ketika speedboat berkecepatan tinggi yang saya tumpangi
tiba-tiba berputar membentuk setengah lingkaran, dengan posisi miring seperti
mau terbalik. Adegan yang memacu adrenalin tersebut terjadi ketika mencoba naik
speedboat di Telaga Sarangan.
Berkunjung ke
Telaga Sarangan ini memang mendadak setelah mengikuti sebuah acara di Madiun.
Sebenarnya banyak obyek wisata lain di kota tersebut. Tetapi teman saya menyarankan pergi ke
Telaga Sarangan. Selain menarik, waktu tempuh tidak begitu jauh dari
Madiun. Sebab padamalamnya kami harus berangkat ke
Jakarta lagi.
Sebelum ke
Telaga Sarangan, saya bersama teman-teman menyempatkan berkeliling kota Madiun,
sambil mencoba wisata kuliner. Kota yang terkenal dengan
peristiwa sejarah G 30 S PKI itu,suananya tenang dan bersih tidak
ada kemacetan rasanya ingin sekali berlama-lama menikmati kota
tersebut.
Tidak ketinggalan kami
pun menyantap makanan tradisional, pecel Madiun. Ada yang kurang jika ke
Madiun tidak mencobanya. Dari warung pecel dilanjutkan ke tempat
pembuatan roti, kata banyak orang punya rasa yang khas. Sehingga
mengundang rasa penasaran kami untuk mencoba olah lidah atau sekadar buat
oleh-oleh. Padahal di setiap kota, roti pasti ada apalagi di
Jakarta.
Walapun sudah
makan pecel. Kuatnya kabar tentang rasa khas dari roti tersebut semakin
mengundang rasa lapar perut kami. Puas menikmati roti hangat
dan melihat-lihat proses pembuatanya. Kami meluncur menuju obyek wisata Telaga
Sarangan yang berada di kabupaten Magetan Jawa Timur.
Kurang lebih
satu jam perjalanan. Di daerah Maospati kami mampir ke sebuah rumah makan.
Nasi pulen dengan menu gurame goreng, ayam bakar, jus jeruk hangat plus
lalaban serta sambal terasi menjadi pilihan siang itu. Menikmati makanan dengan
suasana alam pedesaan, dan pemandanganlatar belakang Gunung Lawu
membangkitkan selera makan.
Sesudah cukup
istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan. Beruntung cuaca ketika itu
sangat cerah. Memasuki kawasan kaki Gunung Lawu jalanan mulai berkelok. Di
kiri-kanan jalan tampak hijau hamparan beragam tanaman sayuran dan palawija
tumbuh subur. Mirip di daerah Dieng Banjarnegara atau di kawasan Cipanas Cianjur
Jawa Barat.
Sebelah barat
pesona Gunung Lawu seolah semakin mendekat, berada di ketinggian3.265
(dpl). Rasanya ingin sekali mendaki menggapai puncaknya yang berselimut
awan. Seperti menyembunyikan banyak cerita dan misteri.
Di antaranya
cerita yang berkembang di masyarakat. Konon di Gunung Lawu dipercaya pernah
dijadikan tempat bertapa Raja Majapahit yang terakhir yaitu Raden
Brawijaya V, bahkan sebagian masyarakat setempat menyebutnya dengan
Sunan Lawu.
Selain itu di
Gunung Lawu ada kawah Condrodimuko yang cukup terkenal. Dan ada juga
tempat-tempat kramat; seperti Sendang Drajat, Hargo Dalem, Hargo Dumilah, Batu
Tugu Punden Berundak, Telaga Kuning dan Lumbung Sayur dan lain-lain. Biasanya
Gunung Lawu banyak dikunjungi pada Tahun Baru Islam atau dikenal dengan bulan
Suro.
Kira-kira dua
jam perjalanan kami tiba di Telaga Sarangan. Suasana sangat ramai sehingga kami
agak kesulitan mendapatkan tempat parkir. Maklum, sebelum masuk ke obyek
wisata ada pasarsehingga agak semberaut. Di samping itu banyak
rombongan turis lokal berdatangan kebetulan ketika itu hari libur.
Di pasar dan
sekitar telaga banyak didominasi pedagang sayur-mayur dan buah-buahan. Yang
menarik di tempat ini banyak juga dijual buah kesemek, (kulit luarnya menempel seperti
bedak warna putih). Saya sendiri sudah lama tidak melihat buah tersebut.
Rasa
penasaran akhirnya terobati ketika kami melihat keindahan Telaga Sarangan. Riak
air memantulkan cahaya sinar matahari sore hari menambah keindahan telaga.
Airnya yang jernih bersih rasanya ingin sekali mandi menyeburkan diri. Sebelah
Selatan tampak panorama alam pegunungan yang hijau. Di tengah telaga tampak ada
pulau kecil (nusa) diselimuti rimbun pepohonan, semua masih terjaga asri. Di
nusa tersebut sampai sekarang diyakini bersemayam roh leluhur pencipta Telaga
Sarangan.
Di sekitar
obyek wisata itu juga terdapat hotel berkelas bintang dua dan kelas melati.
Sepanjang jalan yang mengintari telaga berjejer warung-warung makan, dan
toko cendera mata. Untuk tiket masuk ke obyek wisata Sarangan, dewasa
dikenakan Rp7.500,- anak-anak Rp5000,-. kendaraan roda empat Rp5000,-.
Pengunjung juga bisa menikmati suasana Telaga Sarangan dengan delman atau
keliling naik kuda dengan tarif Rp40,000,-.
Jika nyali
Anda berani bisa juga mencoba naik speed boat dengan tarif Rp40.000,- satu
kali putaran. Pengunjung akan diajak melihat keindahan seputar telaga. Dan akan
merasakan sensasi lain seolah terbang di atas air. Ditambah ada sedikit suguhan
atraksi dari pengemudi speedboat. Walaupun mengitari telaga terasa
sebentar tetapi cukup menghibur.
Bagi yang
ingin rileks dan hobi mancing tidak ada salahnya membawa alat
pancingan. Di pinggir tembok telaga pengunjung akan menemukan banyak pemancing
berjejer. Saya sendiri melihat ada beberapa pemancing yang beruntung sudah mendapatkan
ikan jenis mujaer lumayan besar. Umpanya cukup pelet atau cacing.
Mengingat air telaga cukup dalam sebaiknya mancing bawah atau
gelosor.
Bagi wisatawan
yang suka kuliner, jangan khawatir. Di sekitar telaga banyak pilihan makanan di
saung-saung pinggir telaga. Ada hidangan khas Telaga Sarangan yaitu menu sate
kelinci yang banyak dijajakan di sekitar telaga.
Secara
geografis Telaga Sarangan berada di wilayah Kecamatan Plaosan,
Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kira-kira 16 km dari arah barat kota
Magetan, terletak di kaki Gunung Lawu. Telaga alami ini dikenal
telaga pasir, luasnya sekitar 30 hektar dan berkedalaman 28 meter. Dengan suhu
udara berkisar 18 hingga 25 celsius.
Tetapi
menurut mitos yang beredar di sebagian masyarakat. Telaga Sarangan terbentuk
disebabkan sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir yang hidup
bertahun-tahun tidak mendapatkan keturunan. Maka mereka bersemedi meminta
kepada Sang Hyang Widhi. Dan akhirnya mereka diberi keturunan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Joko Lelung.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mereka bercocok tanam dan berburu. Akan tetapi
pekerjaan sehari-seharinya itu dirasakan cukup berat. Lantas pasangan itu
meminta kepada Sang Hyang Widhi untuk diberikan kesehatan dan panjang umur.
Dalam
semedinya pasangan suami istri itu mendapat wasiat agar menemukan sebuah telur
di dekat ladang mereka. Pasangan ini pun berhasil menemukan telur tersebut.
Lantas dibawa pulang untuk dimasak kemudian telur dibagi dua dan dimakannya.
Setelah pergi
ke ladang lagi badan mereka menjadi panas dan gatal-gatal. Kyai Pasir dan Nyai
Pasir menggaruk-garuk badannya sampai menimbulkan luka dan lecet-lecet. Lama
kelamaan pasangan ini berubah menjadi seekor ular naga besar. Dan
berguling-guling di pasir sehingga membuat cekungan sampai mengeluarkan air
deras. Akhirnya cekungan itu digenangi air.
Merasa
memiliki kemampuan, pasangan itu berniat menenggelamkan Gunung Lawu. Tetapi
niat buruknya itu dapat dicegah oleh anaknya Joko Lelung. Setelah meminta
pertolongan kepada Sang Hyang Widhi. Sampai sekarang mitos tersebut masih
dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat.
Biarlah mitos
itu beredar sebagai bumbu untuk menarik wisatawan. Yang jelas, kesan kali
pertama saya berkunjung ke Telaga Sarangan beberapa waktu lalu sangat
menyenangkan. Walapun tidak cukup waktu untuk berlama-lama mengunjungi obyek
wisata tersebut. Tetapi sudah dapat mengobati kerinduan tentang
keindahan Telaga Sarangan.
Sekitar pukul
5 sore kami pulang menuju stadiun Madiun. Karena ada salah satu teman harus
kembali lebih cepat. Sedangkan saya dan teman yang
lain baru pulang sekitar pukul 10 malam, sesuai jadwal tiket kereta
yang sudah dipesan. Masih ada sisa waktu untuk
istirahat.
Bahkan saya pun sempat menikmati suasana kemeriahan malam
di alun-alun kota Madiun. Harapan saya, mudah-mudahan di kemudian
hari bisa berkunjung kembali menikmati keindahan ke tempat-tempat wisata
lain di kota Madiun. Semoga!
Wednesday 3 September 2014
Hari Kartini di Gunung Gede
Untuk
menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas kesibukan sehari-hari. Berapa waktu
lalu kami sesama pencinta alam melakukan pendakian ke Gunung Gede. Tercatat 41
peserta dari Jabotabek ikut serta. Pilihan kami Gunung Gede, sebab gunung
tersebut ketika itu tidak dalam status bahaya. Lokasinya tidak jauh dari
ibukota. Tepatnya berada di antara tiga kota kabupaten Bogor, Cianjur dan
Sukabumi.
Untuk
menjaga hal yang tidak diinginkan, kami mengikutkan ranger untuk
mendampingi selama pendakian. Mengingat di antara peserta terdapat
beberapa pendaki pemula. Bahkan ada yang belum pernah naik gunung sama sekali.
Gunung Gede
berada di ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut (dpl), luas lahan
21.975 hektar. Merupakan Taman Nasional, begitu
juga dengan kawasan hutan
Gunung Halimun-Salak. sekaligus sebagai salah satu objek wisata.Suhu
rata-rata 18 °c. Apabila malam hari berkisar 10 °c. Sedangkan di puncak gunung
bisa mencapai 5 °c. Gunung Gede kaya ekosistem. Dipenuhi anekaragam
tumbuhan langka dan endemic. Juga dihuni oleh satwa langka dilindungi,
seperti Owa dan Elang Jawa.
Di sepanjang
jalur pendakian banyak tempat menarik. Di antaranya Tenaga Biru, luasnya
sekitar 5 hektar. Jaraknya dari pintu masuk Cibodas sekitar 1,5 km. Ada juga
air terjun Cibeureum, yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter, jaraknya 2,8
km. Dan ada Air Panas, terletak sekitar 5,3 km atau dua jam perjalanan dari
Cibodas
Pukul 2.00
WIB dini hari rombongan tiba di Cibodas. Disambut pemandangan dua gunung
berdiri angkuh berselimut kabut seolah menantang para pendaki. Hawa dingin
mulai menusuk pori-pori kulit. Di sekeliling tampak warung-warung makan dan
toko cendera mata. Areal parkir sekitar seluas dua kali lapangan sepak
bola itu sudah ramai oleh para pecinta alam. Beruntung teman kami kenal
baik dengan salah satu pemilik warung. Sehingga kami pun bisa numpang tidur dan
istirahat melepas lelah dan rasa ngantuk.
Kira-kira
pukul 5.00 WIB pagi, kami berkumpul untuk mendapatkan brifing. Dilanjutkan
berdoa bersama. Mengawali pendakian dari Pos Jaga Cibodas. Para pecinta alam
begitu percaya diri. Penuh semangat mengayunkan langkah. Menapakan kaki di atas
kerasnya batu-batu jalur pendakian.
Tiba di
jalur Air Panas kami menyempatkan istirahat. Jalur ini sangat sempit, berjalan
harus hati-hati. Sebelah kanan jurang terjal. Pijakan kaki harus tepat di atas
batu-batu yang timbul di permukaan aliran air. Tangan harus kuat memegang
tambang plastik dan kawat baja. Sebab dari bawah jurang tiupan angin
sangat kencang berputar. Membawa kabut asap kadang menunupi pandangan.
Target awal,
kami berkemah di Kandang Batu. Ternyata lokasi ini ramai oleh banyaknya
kehadiran para pendaki. Areal perkemahan ini sudah dipenuhi puluhan tenda.
Hampir tidak menyisakan tempat kosong untuk mendirikan tenda lagi. Padahal
kalau melihat jumlah rombongan kami memerlukan banyak tenda, tetapi ketika itu
tidak memungkinkan.
Hari semakin
sore, matahari mulai tenggelam. Langit pun mulai menghitam, pertanda hujan akan
segera turun. Bersyukur dekat kali kecil kami menemukan lokasi sempit.
Lumayan dua tenda darurat bisa berdiri untuk sekadar istirahat terutama
untuk para wanita. Sedangkan satu tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum.
Belum lama
tenda berdiri. Masak belum kelar. Tiba-tiba hujan turun disertai tiupan angin.
Sebagian berusaha memegang tenda agar tetap berdiri. Apa daya tiupan angin
sangat kencang. Satu tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum
roboh. Kami pun sibuk menyelamatkan barang-barang dan makanan. Tubuh kami
semua basah kuyup. Padahal sudah berusaha memakai jas hujan.
Hari semakin
gelap. Hujan belum juga reda, kabut pun mulai muncul. Para peserta
merasakan lapar, lelah dan kedinginan membuat fisik kami menurun.Melihat
kondisi demikian. Lando (ranger, ketua rombongan) dan Syarif Maulana (korlap)
mengumpulkan peserta. Mencari solusi terbaik. Serba dilematis antara
melanjutkan pendakian atau kembali pulang. Pilihan sama sulitnya. Perjalanan
kami sudah sangat jauh. Akhirnya kami sepakat meneruskan pendakian. Lando dan
Syarif pun mengingatkan para peserta untuk tetap menjaga kekompakan.
Mengingat
medan pendakian akan semakin berat. keadaan di atas gunung suhu udara
malam semakin ekstrim. Disarankan kami mengenakan pakaian atau jaket rangkap.
Tidak lupa kami wajib menggunakan alat penerang headlamp, terpasang di
kepala. Kami pun makan bergantian seadanya sambil berdiri di atas genangan air.
Selesai berdoa bersama kami melanjutkan perjalanan. Binatang malam mulai terdengar
bersahutan disertai guyuran hujan. Pendakian semakin menanjak. Kaki
semakin berat untuk digerakan. Di jalanan sempit rombongan kami terlihat
panjang mengular. Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. “Tahan!”. Salah
seorang pendaki harus mendapat suplai oksigen. “Oksigen bawa ke sini,”
teriaknya lagi.
Setelah cukup aman, perjalanan kembali dilanjutkan. Tetapi baru beberapa menit terdengar
teriakan lagi dari bawah. “Tahan!.” Rupanya teman kami di bawah ada yang
terserang kram kaki. Serentak rombongan kami berhenti. Di perjalan malam itu
pun kami beberapa kali bertemu pendaki lain yang terpaksa harus digendong
turun.
Sekitar
pukul 23.00 WIB rombonan tiba di perkemahan Kandang Badak.
Ternyata tempat itu juga sudah dipenuhi tenda sampai ke lereng-lereng
gunung. Karena sulitnya mendapatkan lokasi untuk mendirikan tenda, terpaksa
sebagian peserta numpang tidur di emperan tenda warung penduduk.
Berbeda
dengan teman saya, Agus dan Sanuddin. Dengan memakai jas hujan, terpaksa harus
istirahat tiduran menyender di batang pohontumbang. Begitu juga
Reza Gaston, Anggit, dan Mumu. Nasibnya tidak lebih baik, harus tidur
di jalan berbatu beralaskan tas keril. Sedangkan Adam, Ipin dan Ofik berhasil
mendirikan tenda kecil di lereng dengan tanah bergelombang.
Pagi hari
perjalanan dilanjutkan. Pendakian semakin berat. Banyak rintangan batuan serta
akar melintang. Mendekati puncak pemandangan semakin menarik. Pohon-pohon
tropis tumbuh subur. Daun-daun hijau kemerahan lebat menebar teduh para
pendaki. Sambil berseda gurau kami saling memberi semangat.
Tiba di
jalur “setan” begitu para pendaki menyebut. Para pendaki harus berjalan berayap
di atas tebing batuan curam. Kira-kira setinggi 40 meter dengan kemiringan
sekitar 70 derajat. Jalur ini dianggap angker. Tak heran sebagian dari kami ada
yang tidak berani melewati jalur ini. Dan terpaksa harus mencari jalan lain
agak memutar.
Di sini kami
sedikit agak kecewa melihat ada sampah botol plastik berserakan di
dasar jurang yang sulit dijangkau. Kemungkinan dibuang sembarangan oleh
oknum pendaki yang tidak bertanggung jawab.
Pukul 14
WIB siang kami tiba di puncak dekat kawah. Terlihat lereng dinding batuan
terjal kawah aktif (terakhir meletus pada 1957), mengeluarkan asap putih dan
bau belerang. Karena lokasinya bagus dan dirasa aman kami pun istirahat dan
makan lesehan bersama di tempat tersebut.
Jelang sore
rombongan berhasil menginjakkan kaki di puncak sejati Gunung Gede (puncak
utama). Penuh haru dan gembira. Kami saling berjabat tangan. Karena telah
berhasil mengalahkan rasa cape, lelah dan lapar dan menahan hawa dingin. Tidak
lupa kami pun berfoto bersama mengabadian momen bahagia ini.
Dari tempat ini pula kami dapat melihat keindahan ciptaan Ilahi. Pemandangan
indah kawasan Gunung Gede-Pangrango. Dan keindahan lembah Suryakencana.
Siang akan
berganti malam. Sang surya pun mulai tenggelam. Ketika itu cuaca di puncak
Gunung Gede selalu berubah. Kadang puncak tertutup kabut. Kadangkala hawa panas
dan dingin. Disertai tiupan angin dari lembah. Sebuah pengalaman berharga yang
memacu adrenalin. Setelah menikmati puncak Gunung Gede rombongan kami turun
menuju lembah alun-alun Suryakencana. Lokasinya berada di antara lembah Gunung
Gede dan Gunung Putri.
Disambut
kemeriahan ribuan pendaki dan kelap kelip lampu tenda kami tiba di alun-alun
Suryakencana. Tetapi belum lama tiba di Suryakenca hujan turun kembali. Dengan
sigap para peserta bergotong royong mendirikan tenda di tengah guyuran hujan.
Akhirnya delapan tenda berdiri. Melihat kondisi cuaca buruk. Selain itu ada
teman yang sakit. Maka malam itu kami putuskan menginap di lembah Suryakencana.
Berada pada
ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km dari Cibodas. Dataran seluas 50
hektar itu sebagian ditutupi hamparan pohon bunga edelweiss warna putih.
Lembah alun-alun Suryakencana itu terlihat begitu indah.
Pagi-pagi kami
dibangunkan teriakan pedagang nasi keliling. Rupanya ada penduduk di sekitar
gunung mencoba mengais rezeki berjualan memanfaatkan ramainya kehadiran ribuan
para pendaki. Padahal jarak lembah Suryakencana dengan perkampungan sangat
jauh. Sebagian para peserta sarapan pagi termasuk saya
sendiri. Sayang satu bungkus wuduk seharga Rp10.000,-
dan 1 bawan Rp2000,-, rasanya dingin sekali. Apa boleh
buat perut terasa lapar. Sedikit demi sedikit perut bisa terisi makan.
Sekitar
pukul 7.00 WIB, tiba-tiba dari seberang lembah terdengar nyanyian lagu
Indonesia Raya berkumandang. Rupanya sekelompok pemuda pecinta alam
sedang memperingati hari Kartini, sambil membentangkan bendara
merah putih berukuran besar.
Serentak, tanpa
dikomando seluruh penghuni tenda keluar meninggalkan aktivitasnya. Termasuk
rombongan dari kami semua berdiri mengikuti lagu kebangsaan. Lagu
Indonesia Raya pun bergema di lembah alun-alun Suryakencana. Terasa haru,
sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.
Sekitar
pukul 8.00 WIB rombongan kami pulang, meninggalkan
keindahan hamparan putih pohon Edelwis. Ternyata perjalanan
pulang sama beratnya. Turunan terjal bukit Gunung Putri di bawah guyuran
hujan harus kami lewati. Bahkan ada beberapa teman kami harus jatuh
bangun karena jalanan menurun dan licin, sehingga harus ekstra hati-hati.
Tiba di pos
jaga Gunung Putri kami melapor. Sekaligus menyetorkan empat
karung sampah bawaan. Ini komitmen kami turut menjaga kelestarian
lingkungan. Sebuah perjalan panjang yang menguras tenaga, mulai dari jalur
pendakian Cibodas sampai Gunung Putri. Kami bersyukur, dan dengan senang
hati kami pun bisa kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
(silakan
baca juga; Saksikan Pohon 'Berdarah' di Hutan Gunung Halimun)