Monumen Illegal Fishing di Pantai Pangandaran

Maaf Mba, batu-batu itu nggak boleh dibawa pulang, nanti bisa kesurupan. Kemarin ada orang dari Bandung kesurupan setelah mengambil batu dari sini, kata tukang perahu kepada salah seorang perempuan setengah baya.

Gunung Prau Dieng Suguhkan Pesona Kahyangan

“Bangun,… bangun…, ayo bangun kalau kepengen melihat pamandangan bagus! Udah jauh-jauh bayar. Kalau mau numpang tidur jangan di sini, di rumah nenek saja!,” begitu teriak salah satu petugas (ranger) ketika menjelang subuh.

Menyaksikan Pohon 'Berdarah' di hutan Gunung Halimun

Ketika bedog (golok) itu digoreskan sedikit saja ke kulitnya. Cairan berwarna merah darah itu membuai keluar. Seketika kami terpana melihatnya. Sambil menatap ujung jari telunjuk sang pemandu yang mencolek lelehan cairan itu.

Menikmati Cakrawala Biru di Laut Batu Hiu

“Bulan di Batu Hiu” adalah sebuah judul lagu pop Sunda. Mengisahkan sebuah janji cinta. Disaksikan bulan purnama dikeindahan Batu Hiu. Dari keindahan Batu Hiu itulah telah menginspirasi Doel Sumbang dalam mencipta.

Hari Kartini di Gunung Gede

Lagu Indonesia Raya pun bergema ketika ratusan pencinta alam memperingati hari Kartini di lembah Gunung Gede-Pangrango. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.

Monday 27 October 2014

Atraksi Speed Boat di Keindahan Telaga Sarangan


Jantung saya seperti mau copot. Ketika speedboat berkecepatan tinggi yang saya tumpangi tiba-tiba berputar membentuk setengah lingkaran, dengan posisi miring seperti mau terbalik. Adegan yang memacu adrenalin tersebut terjadi ketika mencoba naik speedboat di Telaga Sarangan.

Berkunjung ke Telaga Sarangan ini memang mendadak setelah mengikuti sebuah acara di Madiun. Sebenarnya banyak obyek wisata lain di kota tersebut. Tetapi teman saya menyarankan pergi ke Telaga Sarangan. Selain menarik, waktu tempuh tidak begitu jauh dari Madiun. Sebab padamalamnya kami harus  berangkat ke Jakarta lagi. 

Sebelum ke Telaga Sarangan, saya bersama teman-teman menyempatkan berkeliling kota Madiun, sambil mencoba wisata kuliner.  Kota yang terkenal dengan peristiwa sejarah G 30 S PKI itu,suananya tenang dan bersih tidak ada kemacetan rasanya ingin sekali berlama-lama menikmati kota tersebut. 



Tidak ketinggalan kami pun menyantap makanan tradisional, pecel Madiun. Ada yang kurang jika ke Madiun tidak mencobanya.  Dari warung pecel dilanjutkan ke tempat pembuatan roti, kata banyak orang punya rasa yang khas.  Sehingga mengundang rasa penasaran kami untuk mencoba olah lidah atau sekadar buat oleh-oleh. Padahal di setiap kota,  roti pasti ada  apalagi di Jakarta.

Walapun sudah makan pecel. Kuatnya kabar tentang rasa khas dari roti tersebut semakin mengundang rasa lapar perut kami. Puas menikmati  roti hangat dan melihat-lihat proses pembuatanya. Kami meluncur menuju obyek wisata Telaga Sarangan  yang berada di kabupaten Magetan Jawa Timur.

Kurang lebih satu jam perjalanan. Di daerah Maospati kami mampir ke sebuah rumah makan. Nasi pulen dengan menu gurame goreng, ayam bakar, jus jeruk hangat  plus lalaban serta sambal terasi menjadi pilihan siang itu. Menikmati makanan dengan suasana alam pedesaan, dan pemandanganlatar belakang Gunung Lawu membangkitkan selera makan.

Sesudah cukup istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan. Beruntung cuaca ketika itu sangat cerah. Memasuki kawasan kaki Gunung Lawu jalanan mulai berkelok. Di kiri-kanan jalan tampak hijau hamparan beragam tanaman sayuran dan palawija tumbuh subur. Mirip di daerah Dieng Banjarnegara atau di kawasan Cipanas Cianjur Jawa Barat.

Sebelah barat pesona Gunung Lawu seolah semakin mendekat, berada di ketinggian3.265 (dpl). Rasanya ingin sekali mendaki menggapai puncaknya yang berselimut awan. Seperti menyembunyikan banyak cerita dan misteri.

Di antaranya cerita yang berkembang di masyarakat. Konon di Gunung Lawu dipercaya pernah dijadikan tempat bertapa Raja Majapahit  yang terakhir yaitu Raden Brawijaya V, bahkan sebagian masyarakat  setempat menyebutnya dengan Sunan Lawu.


Selain itu di Gunung Lawu  ada kawah Condrodimuko yang cukup terkenal. Dan ada juga tempat-tempat kramat; seperti Sendang Drajat, Hargo Dalem, Hargo Dumilah, Batu Tugu Punden Berundak, Telaga Kuning dan Lumbung Sayur dan lain-lain. Biasanya Gunung Lawu banyak dikunjungi pada Tahun Baru Islam atau dikenal dengan bulan Suro.

Kira-kira dua jam perjalanan kami tiba di Telaga Sarangan. Suasana sangat ramai sehingga kami agak kesulitan mendapatkan tempat parkir. Maklum, sebelum masuk ke obyek wisata ada pasarsehingga agak semberaut. Di samping itu banyak rombongan turis lokal berdatangan kebetulan ketika itu hari libur.

Di pasar dan sekitar telaga banyak didominasi pedagang sayur-mayur dan buah-buahan. Yang menarik di tempat ini banyak juga dijual buah kesemek, (kulit luarnya menempel seperti bedak warna putih). Saya sendiri sudah lama tidak melihat buah tersebut.

Rasa penasaran akhirnya terobati ketika kami melihat keindahan Telaga Sarangan. Riak air memantulkan cahaya sinar matahari sore hari menambah keindahan telaga. Airnya yang jernih bersih rasanya ingin sekali mandi menyeburkan diri. Sebelah Selatan tampak panorama alam pegunungan yang hijau. Di tengah telaga tampak ada pulau kecil (nusa) diselimuti rimbun pepohonan, semua masih terjaga asri. Di nusa tersebut sampai sekarang diyakini bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan. 

Di sekitar obyek wisata itu juga terdapat hotel berkelas bintang dua dan kelas melati. Sepanjang jalan yang mengintari telaga berjejer warung-warung makan, dan toko cendera mata. Untuk tiket masuk ke obyek wisata Sarangan, dewasa dikenakan Rp7.500,- anak-anak Rp5000,-. kendaraan roda empat Rp5000,-. Pengunjung juga bisa menikmati suasana Telaga Sarangan dengan delman atau keliling naik kuda dengan tarif Rp40,000,-.


Jika nyali Anda berani bisa juga mencoba naik speed boat dengan tarif Rp40.000,- satu kali putaran. Pengunjung akan diajak melihat keindahan seputar telaga. Dan akan merasakan sensasi lain seolah terbang di atas air. Ditambah ada sedikit suguhan atraksi dari pengemudi speedboat. Walaupun mengitari telaga terasa sebentar tetapi cukup menghibur.

Bagi yang ingin rileks dan hobi mancing tidak ada salahnya membawa alat pancingan. Di pinggir tembok telaga pengunjung akan menemukan banyak pemancing berjejer. Saya sendiri melihat ada beberapa pemancing yang beruntung sudah mendapatkan ikan jenis mujaer lumayan besar. Umpanya cukup pelet atau cacing. Mengingat air telaga cukup dalam sebaiknya mancing bawah atau gelosor.

Bagi wisatawan yang suka kuliner, jangan khawatir. Di sekitar telaga banyak pilihan makanan di saung-saung pinggir telaga. Ada hidangan khas Telaga Sarangan yaitu menu sate kelinci yang banyak dijajakan di sekitar telaga. 

Secara geografis Telaga Sarangan berada di wilayah Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kira-kira 16 km dari arah barat kota Magetan, terletak di kaki Gunung Lawu. Telaga alami ini dikenal telaga pasir, luasnya sekitar 30 hektar dan berkedalaman 28 meter. Dengan suhu udara berkisar 18 hingga 25 celsius.


Tetapi menurut mitos yang beredar di sebagian masyarakat. Telaga Sarangan terbentuk disebabkan sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir yang hidup bertahun-tahun tidak mendapatkan keturunan. Maka mereka bersemedi meminta kepada Sang Hyang Widhi. Dan akhirnya mereka diberi keturunan seorang anak laki-laki yang diberi nama Joko Lelung.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka bercocok tanam dan berburu. Akan tetapi pekerjaan sehari-seharinya itu dirasakan cukup berat. Lantas pasangan itu meminta kepada Sang Hyang Widhi untuk diberikan kesehatan dan panjang umur. 

Dalam semedinya pasangan suami istri itu mendapat wasiat agar menemukan sebuah telur di dekat ladang mereka. Pasangan ini pun berhasil menemukan telur tersebut. Lantas dibawa pulang untuk dimasak kemudian telur dibagi dua dan dimakannya.


Setelah pergi ke ladang lagi badan mereka menjadi panas dan gatal-gatal. Kyai Pasir dan Nyai Pasir menggaruk-garuk badannya sampai menimbulkan luka dan lecet-lecet. Lama kelamaan pasangan ini berubah menjadi seekor ular naga besar. Dan berguling-guling di pasir sehingga membuat cekungan sampai mengeluarkan air deras. Akhirnya cekungan  itu digenangi air.

Merasa memiliki kemampuan, pasangan itu berniat menenggelamkan Gunung Lawu. Tetapi niat buruknya itu dapat dicegah oleh anaknya Joko Lelung. Setelah meminta pertolongan kepada Sang Hyang Widhi. Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat.

Biarlah mitos itu beredar sebagai bumbu untuk menarik wisatawan. Yang jelas, kesan kali pertama saya berkunjung ke Telaga Sarangan beberapa waktu lalu sangat menyenangkan. Walapun tidak cukup waktu untuk berlama-lama mengunjungi obyek wisata tersebut. Tetapi sudah dapat mengobati kerinduan tentang keindahan Telaga Sarangan.


Sekitar pukul 5 sore kami pulang menuju stadiun Madiun. Karena ada salah satu teman harus kembali lebih cepat. Sedangkan saya dan  teman yang lain baru pulang sekitar pukul 10 malam, sesuai jadwal tiket kereta yang sudah dipesan. Masih ada sisa waktu  untuk istirahat. 

Bahkan saya pun sempat menikmati suasana kemeriahan malam di alun-alun kota Madiun. Harapan saya,  mudah-mudahan di kemudian hari bisa berkunjung kembali menikmati keindahan ke tempat-tempat wisata lain di kota Madiun. Semoga!

Wednesday 3 September 2014

Hari Kartini di Gunung Gede

Untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas kesibukan sehari-hari. Berapa waktu lalu kami sesama pencinta alam melakukan pendakian ke Gunung Gede. Tercatat 41 peserta dari Jabotabek ikut serta. Pilihan kami Gunung Gede, sebab gunung tersebut ketika itu tidak dalam status bahaya. Lokasinya tidak jauh dari ibukota. Tepatnya berada di antara tiga kota kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi.

Untuk menjaga hal yang tidak diinginkan, kami mengikutkan ranger untuk mendampingi selama pendakian. Mengingat di antara peserta terdapat  beberapa pendaki pemula. Bahkan ada yang belum pernah naik gunung sama sekali.

Gunung Gede berada di ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut (dpl), luas lahan 21.975 hektar. Merupakan Taman Nasional, begitu juga dengan kawasan hutan Gunung Halimun-Salak. sekaligus sebagai salah satu objek wisata.Suhu rata-rata 18 °c. Apabila malam hari berkisar 10 °c. Sedangkan di puncak gunung bisa mencapai 5 °c. Gunung Gede kaya ekosistem. Dipenuhi anekaragam tumbuhan langka dan endemic. Juga dihuni oleh satwa langka dilindungi, seperti Owa dan Elang Jawa.

Di sepanjang jalur pendakian banyak tempat menarik. Di antaranya Tenaga Biru, luasnya sekitar 5 hektar. Jaraknya dari pintu masuk Cibodas sekitar 1,5 km. Ada juga air terjun Cibeureum, yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter, jaraknya 2,8 km. Dan ada Air Panas, terletak sekitar 5,3 km atau dua jam perjalanan dari Cibodas

Pukul 2.00 WIB dini hari rombongan tiba di Cibodas. Disambut pemandangan dua gunung berdiri angkuh berselimut kabut seolah menantang para pendaki. Hawa dingin mulai menusuk pori-pori kulit. Di sekeliling tampak warung-warung makan dan toko cendera mata.  Areal parkir sekitar seluas dua kali lapangan sepak bola itu sudah ramai oleh para pecinta alam. Beruntung  teman kami kenal baik dengan salah satu pemilik warung. Sehingga kami pun bisa numpang tidur dan istirahat melepas lelah dan rasa ngantuk. 
Kira-kira pukul 5.00 WIB pagi, kami berkumpul untuk mendapatkan brifing. Dilanjutkan berdoa bersama. Mengawali pendakian dari Pos Jaga Cibodas. Para pecinta alam begitu percaya diri. Penuh semangat mengayunkan langkah. Menapakan kaki di atas kerasnya batu-batu jalur pendakian.

Tiba di jalur Air Panas kami menyempatkan istirahat. Jalur ini sangat sempit, berjalan harus hati-hati. Sebelah kanan jurang terjal. Pijakan kaki harus tepat di atas batu-batu yang timbul di permukaan aliran air. Tangan harus kuat memegang tambang plastik  dan kawat baja. Sebab dari bawah jurang tiupan angin sangat kencang berputar.  Membawa kabut asap kadang menunupi pandangan.

Target awal, kami berkemah di Kandang Batu. Ternyata lokasi ini ramai oleh banyaknya kehadiran para pendaki. Areal perkemahan ini sudah dipenuhi puluhan tenda. Hampir tidak menyisakan tempat kosong untuk mendirikan tenda lagi. Padahal kalau melihat jumlah rombongan kami memerlukan banyak tenda, tetapi ketika itu tidak memungkinkan.

Hari semakin sore, matahari mulai tenggelam. Langit pun mulai menghitam, pertanda hujan akan segera turun.  Bersyukur dekat kali kecil kami menemukan lokasi sempit. Lumayan  dua tenda darurat bisa berdiri untuk sekadar istirahat terutama untuk para wanita. Sedangkan satu tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum.

Belum lama tenda berdiri. Masak belum kelar. Tiba-tiba hujan turun disertai tiupan angin. Sebagian berusaha memegang tenda agar tetap berdiri. Apa daya tiupan angin sangat kencang. Satu  tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum roboh.  Kami pun sibuk menyelamatkan barang-barang dan makanan. Tubuh kami semua basah kuyup. Padahal sudah berusaha memakai jas hujan.

Hari semakin gelap.  Hujan belum juga reda, kabut pun mulai muncul. Para peserta merasakan lapar, lelah dan kedinginan membuat fisik kami menurun.Melihat kondisi demikian. Lando (ranger, ketua rombongan) dan Syarif Maulana (korlap) mengumpulkan peserta. Mencari solusi terbaik. Serba dilematis antara melanjutkan pendakian atau kembali pulang. Pilihan sama sulitnya. Perjalanan kami sudah sangat jauh. Akhirnya kami sepakat meneruskan pendakian. Lando dan Syarif pun mengingatkan para peserta untuk tetap menjaga kekompakan.


Mengingat medan pendakian akan semakin berat. keadaan di atas gunung suhu udara  malam semakin ekstrim. Disarankan kami mengenakan pakaian atau jaket rangkap. Tidak lupa kami wajib menggunakan alat penerang headlamp, terpasang di kepala. Kami pun makan bergantian seadanya sambil berdiri di atas genangan air.

Selesai berdoa bersama kami melanjutkan perjalanan. Binatang malam mulai terdengar bersahutan disertai guyuran hujan. Pendakian semakin menanjak. Kaki semakin berat untuk digerakan. Di jalanan sempit rombongan kami terlihat panjang mengular. Tiba-tiba terdengar  teriakan dari atas. “Tahan!”. Salah seorang  pendaki harus mendapat suplai oksigen. “Oksigen bawa ke sini,” teriaknya lagi.
Setelah cukup aman, perjalanan kembali dilanjutkan. Tetapi baru beberapa menit terdengar teriakan lagi dari bawah. “Tahan!.” Rupanya teman kami di bawah ada yang terserang kram kaki. Serentak rombongan kami berhenti. Di perjalan malam itu pun kami beberapa kali bertemu pendaki lain yang terpaksa harus digendong turun.

Sekitar pukul 23.00 WIB rombonan tiba di perkemahan Kandang  Badak. Ternyata  tempat itu juga sudah dipenuhi tenda sampai ke lereng-lereng gunung. Karena sulitnya mendapatkan lokasi untuk mendirikan tenda, terpaksa sebagian peserta numpang tidur di emperan tenda warung penduduk.
Berbeda dengan teman saya, Agus dan Sanuddin. Dengan memakai jas hujan, terpaksa harus istirahat tiduran menyender di batang pohontumbang. Begitu juga Reza Gaston, Anggit, dan Mumu. Nasibnya tidak lebih baik, harus tidur di jalan berbatu beralaskan tas keril. Sedangkan Adam, Ipin dan Ofik berhasil mendirikan tenda kecil di lereng dengan tanah bergelombang.

Pagi hari perjalanan dilanjutkan. Pendakian semakin berat. Banyak rintangan batuan serta akar melintang.  Mendekati puncak pemandangan semakin menarik. Pohon-pohon tropis tumbuh subur.  Daun-daun hijau kemerahan lebat menebar teduh para pendaki.  Sambil berseda gurau kami saling memberi semangat.

Tiba di jalur “setan” begitu para pendaki menyebut. Para pendaki harus berjalan berayap di atas tebing batuan curam. Kira-kira setinggi 40 meter dengan kemiringan sekitar 70 derajat. Jalur ini dianggap angker. Tak heran sebagian dari kami ada yang tidak berani melewati jalur ini. Dan terpaksa harus mencari jalan lain agak memutar.

Di sini kami sedikit agak kecewa melihat ada sampah botol plastik berserakan di dasar jurang yang sulit dijangkau. Kemungkinan dibuang sembarangan oleh oknum pendaki yang tidak bertanggung jawab.

Pukul 14 WIB siang kami tiba di puncak dekat kawah. Terlihat lereng dinding batuan terjal kawah aktif (terakhir meletus pada 1957), mengeluarkan asap putih dan bau belerang. Karena lokasinya bagus dan dirasa aman kami pun istirahat dan makan lesehan bersama di tempat tersebut.

Jelang sore rombongan berhasil menginjakkan kaki di puncak sejati Gunung Gede (puncak utama). Penuh haru dan gembira. Kami saling berjabat tangan. Karena telah berhasil mengalahkan rasa cape, lelah dan lapar dan menahan hawa dingin. Tidak lupa kami pun berfoto bersama mengabadian momen bahagia ini. Dari tempat ini pula kami dapat melihat keindahan ciptaan Ilahi. Pemandangan indah kawasan Gunung Gede-Pangrango. Dan keindahan lembah Suryakencana.

Siang akan berganti malam. Sang surya pun mulai tenggelam. Ketika itu cuaca di puncak Gunung Gede selalu berubah. Kadang puncak tertutup kabut. Kadangkala hawa panas dan dingin. Disertai tiupan angin dari lembah. Sebuah pengalaman berharga yang memacu adrenalin. Setelah menikmati puncak Gunung Gede rombongan kami turun menuju lembah alun-alun Suryakencana. Lokasinya berada di antara lembah Gunung Gede dan Gunung Putri.

Disambut kemeriahan ribuan pendaki dan kelap kelip lampu tenda kami tiba di alun-alun Suryakencana. Tetapi belum lama tiba di Suryakenca hujan turun kembali. Dengan sigap para peserta bergotong royong mendirikan tenda di tengah guyuran hujan. Akhirnya delapan tenda berdiri. Melihat kondisi cuaca buruk. Selain itu ada teman yang sakit. Maka malam itu kami putuskan menginap di lembah Suryakencana.
Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km dari Cibodas. Dataran seluas 50 hektar  itu sebagian ditutupi hamparan pohon bunga edelweiss warna putih. Lembah alun-alun Suryakencana itu terlihat begitu indah.

Pagi-pagi kami dibangunkan teriakan pedagang nasi keliling. Rupanya ada penduduk di sekitar gunung mencoba mengais rezeki berjualan memanfaatkan ramainya kehadiran ribuan para pendaki. Padahal jarak lembah Suryakencana dengan perkampungan sangat jauh. Sebagian  para peserta sarapan pagi termasuk saya sendiri. Sayang  satu bungkus wuduk seharga Rp10.000,- dan 1 bawan Rp2000,-, rasanya dingin sekali.  Apa boleh buat perut terasa lapar. Sedikit demi sedikit perut bisa terisi makan.

Sekitar pukul 7.00 WIB, tiba-tiba dari seberang lembah terdengar nyanyian lagu Indonesia Raya berkumandang. Rupanya sekelompok pemuda pecinta alam  sedang memperingati hari Kartini, sambil membentangkan bendara merah putih berukuran besar.

Serentak, tanpa dikomando seluruh penghuni tenda keluar meninggalkan aktivitasnya. Termasuk rombongan dari kami semua berdiri mengikuti lagu kebangsaan. Lagu Indonesia Raya pun bergema di lembah alun-alun Suryakencana. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.

Sekitar pukul 8.00 WIB rombongan kami pulang, meninggalkan keindahan hamparan putih pohon Edelwis. Ternyata perjalanan pulang sama beratnya. Turunan terjal bukit Gunung Putri di bawah guyuran hujan harus kami lewati. Bahkan ada beberapa teman kami harus jatuh bangun karena jalanan menurun dan licin, sehingga harus ekstra hati-hati.

Tiba di pos jaga Gunung Putri kami melapor. Sekaligus menyetorkan empat karung sampah bawaan. Ini komitmen kami turut menjaga kelestarian lingkungan. Sebuah perjalan panjang yang menguras tenaga, mulai dari jalur pendakian Cibodas sampai Gunung Putri. Kami bersyukur, dan  dengan senang hati kami pun bisa kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.