.
Itulah sepenggal
pengalaman menegangkan yang memacu adrenalin. Ketika kami mengikuti wisata gathering Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Yang diikuti oleh staf dan
karyawan serta jajaran direksi IAI di Pulau Belitung beberapa waktu lalu. Sebuah acara gathering dengan thema: “Kejayaan
Akuntan Profesional, Kejayaan
Negeri”— dikemas
santai sambil berwisata. Bertujuan untuk lebih meningkatkan kinerja dan memupuk
kerbersamaan yang sudah terbina dengan baik selama ini.
Mengawali
pemberangkatan pada hari Jumat pagi sekitar pulul 6.00 WIB, dari bandara
Internasional Soekarno-Hatta. Pesawat Boeing 737-800 lepas landas membawa
rombongan kami menuju Tanjung Pandan, Pulau Belitung. Penerbangan hanya butuh waktu
sekitar 50 menit. Pesawat pun tiba di bandara
Internasional H. Ishanoedin.
Begitu tiba
di bandara. Raut wajah teman-teman terlihat ceria. Sesekali terlontar candaan dan guyonan. Sepertinya
mereka tidak sabar ingin cepat-cepat mengunjungi tempat-tempat wisata di
Belitung. Kami disambut oleh empat orang pemandu wisata dari sebuah jasa travel.
Mereka itulah yang mendampingi kami selama tiga hari berkunjung di Belitung.
Sekitar pukul
7.00 WIB. Dua bus berukuran sedang langsung membawa rombongan kami menuju pusat
kota Tanjung Pandan untuk menikmati kuliner. Hanya butuh waktu sekitar setengah
jam, bus pun berhenti tepat di depan sebuah ruko berlantai dua. Lokasinya tidak
jauh dari putaran tugu Batu Kalam. Tampak di ruko itu terpampang sebuah tulisan
“Mie Belitung Atep”.
Selidik mengenai keberadaan Mie Atep, ternyata sudah banyak dikenal
khususnya di kalangan penikmat wisata kuliner. Begitu populernya keberadaan Mie
Atep. Mungkin bisa
dilihat ketika masuk ke dalam bangunannya. Di dindingnya banyak terpampang deretan
foto-foto orang beken yang pernah datang ke warung mie itu. Mulai dari
politikus, pejabat dan artis-artis ibukota. Misalnya, ada foto mantan Presiden
RI ke 5, Ibu Megawati Sukarno Putri
bersama Puan Maharani. Ada juga dari kalangan artis, seperti Meriam Bellina,
Tukul Arwana, dan lain-lain.
Jika melihat
tampilannya mie atep biasa saja, tidak ada hal yang istimewa. Terdiri dari mie
kuning dengan sedikit potongan mentimun dan kuah. Porsinya pun tidak terlalu
banyak. Untuk yang biasa makan banyak harus nambah porsi. Mungkin yang menjadi keunggulannya
adalah punya rasa yang khas,
itu memang relatif. Nah, agar tidak penasaran jika kebetulan Anda sedang jalan-jalan ke kota
Belitung silakan mampir dan mencobanya.
Selesai
menikmati mie atep. Kami langsung meluncur menuju ke obyek wisata Pantai Tanjung
Tinggi yang berada di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Obyek wisata itu berjarak sekitar 37
Km dari pusat Tanjung Pandan. Dalam perjalanan itu dua bus yang membawa rombongan
teman-teman IAI tidak menemui kemacetan,
alias lancar.
Di pagi itu
cuaca cerah, suasana kota begitu tenang. Yang sedikit mengherankan di kota itu adalah
tidak meihat adanya lalu lalang angkutan kota. Seperti umumnya di kota-kota Pulau
Jawa. Menurut keterangan guide, di
kota itu tidak ada angkutan kota. Yang ada hanya bus antar kota kabupaten, itu
pun sedikit sekali. Penduduk di kedua kota itu jika ingin bepergian lebih
banyak menggunakan sepeda motor.
Tidak berapa
lama kami tiba di Pantai Tanjung Tinggi. Salah satu destinasi wisata favorit di
Belitung. Suasana pantai masih tampak sepi. Tidak terlihat lalu lalang
kehadiran pengunjung. Hanya tampak beberapa pedagang yang mangkal di bawah pepohonan
rindang.
Dari
lapangan areal parkir keindahan Pantai Tanjung Tinggi belum terlihat nyata. Rimbun
pohon-pohon itu sedikit menyamarkan pandangan. Tetapi setelah mendekati bebatuan,
keindahan mulai tampak. Apalagi setelah masuk ke celah-celah batu-batu itu pemandangannya sungguh
mengagumkan.
Ukuran batu-batu granit itu mulai dari beberapa
meter kubik-- hingga ratusan meter kubik --lebih besar dari sebuah rumah. Bongkahan granit itu menyebar dan
bertumpuk-tumpuk seperti sengaja disusun menjadikan pemandangan indah. Sungguh sebuah
anugrah. Alam telah
menatanya, ribuan atau mungkin jutaan
tahun lamanya atas kuasa-Nya Tuhan.
Keunggulan
Pantai Tanjung Tinggi akan semakin terlihat pesonanya, manakala kita berdiri di
atas batu-batu itu. Mata kita akan disuguhi pemandangan bentangan pantai dengan
batu-batu sebagai hiasannya. Bagi yang hobi berburu fotografi banyak spot-spot menarik.
Bisa dari celah batu, atau dari atas batu. Cuma ketika akan naik harus
hati-hati agar tidak terpeleset jatuh ke laut.
Karena pesona kecantikannya merupakan daya tarik dari pantai itu. Tidak heran obyek wisata Tanjung Tinggi
pernah dijadikan lokasi syuting film Laskar
Pelangi. Bahkan banyak yang menyebut sebagai Pantai Laskar Pelangi. Hamparan pasir putih dan
air laut yang berwarna hijau kebiruan di sekitar pantai semakin menambah pesona
kecantikan Pantai Tanjung Tinggi. Walaupun ketika
itu di pinggiran pantai banyak sampah yang terbawa tiupan angin. Tetapi tidak
menghilangkan pesona pantai itu.
Sayang di Pantai Tanjung Tinggi kami tidak
bisa berlama-lama. Karena masih ada tempat lain yang akan dituju. Rombongan kami harus melanjutkan perjalanan ke Kampong Dedaun dan Tanjung Kelayang.
Akhirnya
kami pun meninggalkan pantai itu. Sedangkan sebagian teman-teman yang muslim terlebih dahulu menunaikan
ibadah shalat Jumat.
Setelah kami
semua berkumpul di Kampong Dedaun. Kami makan siang bersama, dengan hidangan aneka menu olahan ikan laut. Tempatnya terbuka, sehingga kami bisa
makan sambil melihat panorama pantai dengan rindang pepohonan. Tentu hal ini semakin menambah selera makan. Di Kampong
Dedaun itu juga dilengkapi
dengan fasilitas gazebo, kursi santai sun lounger, sewa sepeda dan perahu kayak.
Sehabis makan siang kami istirahat
sejenak. Setelah itu, panitia yang masih dari teman-teman IAI mengadakan permainan, game ringan. Walaupun dilakuan sederhana
dengan suasana santai tetapi cukup seru juga. Dalam permainan itu seluruh
peserta ikut serta tanpa terkecuali dengan jajaran direksi mereka sama-sama
berbagi keseruan dalam kebersamaan.
Selesai
acara permainan kami rehat sebentar. Dan kembali melanjutkan perjalanan menuju
Tanjung Kelayang. Pantai Tanjung Kelayang ini adalah pantai kedua yang terkenal
setelah Pantai Tanjung Tinggi. Yang khas dari pantai ini adalah Batu Kelayang
yang merupakan maskot dari Sail Wakatobi – Belitung 2011. Pantai Tanjung Kelayang terdiri dari dua
bagian, yaitu sebelah barat dengan gugusan batu granit dan sebelah timur berupa
hamparan pasir putih nan cantik.
Di Pantai Tanjung
Kelayang itu pada awalnya kami ingin mencoba berenang. Atau snorkeling melihat-lihat
pemandangan bawah laut. Tetapi sayang keadaanya tidak memungkinkan. Karena
kondisi laut kurang bersahabat. Ketika
itu permukaan air laut sedang naik disertai tiupan angin sangat kencang.
Sehingga menimbulkan gelombang ombak yang tinggi. Jadi tidak memungkinkan untuk
berenang atau snorkeling karena berbahaya.
Sedikit
kecewa tidak merasakan eloknya Pantai Tanjung Kelayang. Melihat kondisi
demikian, pemandu mengajak kami ke Tanjung Binga untuk ‘berburu’ sunset. Tanjung Binga, adalah sebuah
perkampungan nelayan yang terletak di Desa Binga, Kecamatan Sijuk. Dari Tanjung
Binga ini merupakan tempat ideal untuk menyaksikan
panorama matahari terbenam.
Hari semakin
sore sebentar lagi siang akan berganti malam. Di Tanjung Binga sebagian teman-teman
sudah siap-siap menyaksikan sunset. Dengan
duduk di atas bongkahan batu-batu granit. Sambil melihat pemandangan laut dan
pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Namun apa
boleh buat setelah sabar menunggu, kami pun harus gigit jari. Awan kehitaman hadir.
Lambat laun menyamarkan pandangan. Sekaligus memupus harapan untuk melihat keindahan
tenggelamnya sang Batara Surya. Keadaannya yang tidak memungkinkan, kami pun
memutuskan pulang ke hotel.
Di hari kedua,
Sabtu pagi. Kota Tanjung Pandan keadaan cuaca begitu cerah. Mungkin hal ini
pertanda baik. Karena ada harapan bisa
menyeberang ke pulau Lengkuas. Setelah sarapan pagi. Kami siap-siap jalan-jalan
lagi di ‘Negeri Laskar Pelangi’ itu. Rencananya untuk ‘acara basah-basahan’,
melanjutkan berenang atau snorkeling di Pulau Lengkuas. Sekitar pukul 9.00 WIB
pagi, rombongan kami berangkat meninggalkan penginapan.
Kami pun
kembali ke Desa Binga untuk naik perahu ke Pulau Lengkuas. Karena menyeberang
dari Tanjung Binga relatif lebih dekat. Waktu tempuh sekitar 30 menit.
Sedangkan dari Tanjung Kelayang bisa mencapai 60 menit. Tetapi setelah tiba di
lokasi. Lagi-lagi untuk kali kedua kami dibuat kecewa. Ombak laut ternyata
masih cukup tinggi. Kami gagal menyeberang ke pulau Lengkuas. Abang tukang perahu
pun tidak berani menyeberangkannya.
Memang pada
bulan Februari itu, karena faktor cuaca. Sebagian besar perairan laut Indonesia,
gelombangnya sedang mengalami kenaikan. Tidak mau mengambil risiko. Akhirnya
kami sepakat menunda kunjungan ke Pulau Lengkuas. Dan mengalihkan tujuan ke Pantai
Nyiur Melambai yang terletak di Desa Lalang, Kecamatan Manggar, Belitung Timur. Sekitar pukul 12.00 WIB rombongan kami tiba di pantai yang banyak
ditumbuhi jejeran pohon pinus itu.
Pantai yang
berada di ujung timur pulau Belitung itu, ternyata cukup landai dan airnya tenang.
Pantainya panjang dengan hamparan pasir putih halus cukup menarik. Ombak laut
pun seperti sebagai garis pembatas yang hanya terlihat jauh dari bibir pantai.
Sehingga aman untuk berenang walaupun agak ke tengah. Keadaan ini sangat
berbeda dengan laut di sebelah utara pulau Belitung.
Kesempatan
ini pun tidak disia-siakan oleh sebagian teman-teman. Untuk mandi dan bermain
pasir, serta berfoto ria. Walaupun panas sinar matahari cukup menyengat kulit
tubuh. Tetapi tidak menyurutkan keceriaan. Pantai Nyiur Melambai sedikit telah
mengobati rindu sebagian teman-teman bermain-bermain dengan pasir dan mandi di
laut.
Dari Pantai
Nyiur Melambai kami mampir ke SD Muhamadiyah, tempat shoting film Laskar
Pelangi. Dan menyambangi Rumah Keong yang berada di seberangnya. Kedua tempat
itu lokasinya berada di Kampung Gantong, Desa Lenggang, Kecamatan Mandar,
Kabupaten Belitung Timur.
Di Tengah Laut yang Menegangkan
Berlanjut di
hari terakhir di Belitung. Minggu pagi sekitar pukul 7.00 WIB selesai sarapan, rombongan
IAI cek out dari hotel dan langsung menuju ke
Pulau Lengkuas. Karena sudah dua kali rencana ke Pulau Lengkuas batal disebabkan
kendala gelombang air laut tinggi. Sebelum
kembali ke Jakarta, berharap pada hari itu menyeberang ke Pulau Lengkuas bisa
terlaksana. Rasanya kurang afdol apabila ke Belitung tidak mengunjungi Pulau
Lengkuas.
Kira-kira pukul 8.00 WIB kami tiba di Tanjung Binga. Keadaan
laut agak mendingan dibanding dua hari sebelumnya. Tetapi gelombangnya masih
harus diwaspadai, karena tiupan angin masih kencang.
Sebelum naik
ke perahu, kami diharuskan memakai rompi pelampung sebagai standar minimal
untuk berjaga-jaga. Dibutuhkan tiga perahu untuk membawa rombongan kami ke
Pulau Lengkuas. Untuk menjaga keamanan, masing-masing perahu dibatasi hanya
mengangkut tidak lebih dari 20 orang.
Ketika naik
ke atas perahu pun, kami harus sedikit repot. Karena perahu itu terus bergoyang
oleh hantaman gelombang. Tetapi akhirnya kami semua bisa meninggalkan bibir pantai
Tanjung Binga, dan menuju ke Pulau Lengkuas.
Selepas
pantai Tanjung Binga, keadaan air laut masih cukup bersahabat. Tampak
sorak-sorai riang teman-teman silih berganti dari tiga perahu itu. Tetapi semakin
ke tengah, gelombang semakin besar. Tiupan angin semakin kencang. Gulungan
ombak tinggi mengombang-ambing tiga perahu kami. Terkadang perahu yang
ditumpangi teman lain, hilang dari pandangan. Seolah lenyap ditelan gulungan
ombak.
Keadaan
seketika berubah. Samar terdengar teriakan histeris dari teman-teman. Entah
takut atau gembira bercampur dengan suara gemuruh gelombang laut. Bahkan
teman-teman yang duduk di depan harus basah kuyup terkena cipratan air laut. Sementa
deru suara mesin kapal seolah mengeluh keberatan untuk melewati kuatnya terjangan
ombak laut Belitung. Kami hanya bisa berdoa minta keselamatan, hanya itu yang kami
bisa ketika itu.
Pelan-pelan
gulungan ombak tinggi itu bisa dilewati. Tampak jejeran pohon nyiur daunnya melambai-lambai,
seolah menyambut kehadiran kami di Pulau Lengkuas. Terlihat juga mercusuar menjulang
tinggi. Berdiri angkuh seolah sedang menyaksikan rombongan IAI yang sedang berjuang melawan rasa takut di
tengah laut. Berkat doa dan kesigapan pengemudi perahu. Sehingga ketiga perahu itu
pun bisa melepas jangkar di pinggir pantai
Pulau Lengkuas.
Ketegangan dan
rasa takut pun sirna, berubah menjadi sukacita. Terbayarkan dengan bisa
menikmati kemolekan Pulau Lengkuas. Pulau dengan luas kurang dari satu hektar itu
sungguh memesona. Struktur batu-batu granitnya unik, berbeda dengan
tempat-tempat lain. Dengan kombinasi
pantai yang berpasir putih dan pepohonan.
Ciri dari
pulau itu adalah adanya mercucuar setinggi 70 meter
dengan 18 lantai. Dibangun pada zaman
penjajahan Belanda tahun 1882. Sensasi lain yang menarik, yaitu jika melihat pemandangan dari atas
menara. Panorama gugusan pulau-pulau kecil seputar Pulau Lengkuas akan terlihat indah
dengan batu-batu granitnya.
Sayang sekali kami tidak bisa menikmati keindahan pulau itu
berlama-lama. Sebab sekitar
pukul 12.00 WIB rombongan IAI harus sudah berada di bandara H. Ishanoedin, untuk siap-siap kembali ke Jakarta. Walapun demikian, bisa terlaksananya berkunjung
ke Pulau Lengkuas bagi kami cukup menyenangkan.
Kami pun kembali pulang
ke Tanjung Binga. Deru suara mesin perahu itu pun
mengiringi perjalanan kami meninggalkan
Pulau Lengkuas. Bersyukur dalam
perjalanan pulang ombak tidak sebesar ketika berangkat. Sehingga kami semua bisa menikmati pemandangan gugusan
pulau-pulu kecil yang dilalui dengan tenang.
Tiba kembali
di daratan Desa Binga. Kami langsung bersih-bersih badan dan dilanjutkan makan
siang bersama. Setelah rehat sebentar, rombongan kami meninggalkan desa nelayan
itu. Sebelum ke bandara kami sempat melihat-lihat ke obyek wisata Danau Koalin.
Sebuah danau bekas pertambangan yang sudah ditutup. Cukup menarik juga, airnya berwarna
biru dengan hamparan pasir putih.
Kira-kira pukul
12.00 WIB rombongan IAI tiba di bandara H. Ishanoedin. Dan sekitar pukul pukul 01.00 WIB, kami meninggalkan Pulau Belitung, kembali
Jakarta. Sebuah acara gathering
sambil jalan-jalan santai. Telah membawa kesan dan pesan menarik, tentang makna
kebersamaan. Mudah-mudahan kebersamaan itu tetap utuh. Semoga!
foto: Widodo, Arif, Sanudd, Mhenk, Aja