Di bawah pohon
rindang di pinggir jalan berdebu. Orang tua itu seolah tak peduli oleh lalu
lalang mobil dan motor yang ramai melintasi jalan itu. Ia sibuk sendiri menggali
lubang untuk mendirikan tiang bambu. Sepertinya ia akan membuat sebuah saung
sebagai tempat jualan -- mencoba mengais rezeki dari ramainya hilir mudik kedatangan
para wisatawan ke lokasi bendungan Jatigede.
Waduk Jatigede.
Proyek bendungan yang digagas era Soekarno sejak tahun 1963 lalu. Akhirnya pada
31 Agustus 2015 diresmikan oleh Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat. Pada awalnya akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo,
tetapi batal datang. Sepertinya pemerintah mengejar pencapaian target listrik 35.000
Megawatt harus terpenuhi. Dengan diresmikannya bendungan Waduk Jatigede
diharapkan dapat mengurangi krisis energi di negeri ini.
Bendungan Serbaguna
Jatigede ini membendung aliran air Kali Cimanuk. Terletak di Kampung Jatigede
Kulon, Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
Bendungan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Jatiluhur ini, menelan
dana tak kurang dari 7 triliun. Menurut
sumber dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, total nilai kontrak proyek adalah US$239,573 dengan kontraktor dari Indonesia
yaitu Wika, Waskita dan PP bersama China Sinohydro Corp.
Direncanakan bendungan
ini akan menghasilkan energi listrik sebesar 110 Megawatt. Kemudian listrik
yang dihasilkan Waduk Jatigede akan masuk ke sistem tranmisi Jawa-Bali. Selain
itu akan
mengairi sawah seluas 130.000 hektar di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan
Cirebon. Juga sebagai pengendali banjir di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Tidak
hanya itu air bendungan Waduk Jatigede bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sarana olahraga,
parawisata, budidaya ikan air tawar dan lain sebagainya.
|
Kondisi awal penggenangan |
Tetapi dampak sosial yang diakibatkan proyek Jatigede tidaklah kecil. Adalah
harus menenggelamkan areal seluas 6.738 hektar. Meliputi: sawah, hutan,
permukiman rakyat, ladang, kebun, jalan desa, sekolah, tempat peribadatan dan
lain-lain. Tidak hanya itu, ada 48 situs cagar budaya para leluhur
kerajaan Sumedang Larang di daerah genangan harus dipindahkan. Di samping itu ribuan warga dari 35 Desa di 6
kecamatan yaitu; Jatigede, Cadasngampar, Wado, Cisitu, Situraja, dan Darmaraja.
Harus meninggalkan tempat tinggal dari tanah leluhurnya yang sudah ditempati
puluhan tahun.
Pada suatu kesempatan saya coba mengunjungi Waduk Jatigede itu. Untuk menuju
ke lokasi, dari Bandung bisa melalui arah kota Sumedang. Dari patung endog
(telor) lurus sedikit, putar balik terus belok kiri ke arah jalan Situraja-Wado
(soalnya tidak boleh belok kanan langsung). Jika memakai jalan lingkar luar
jalur ke Cirebon dari arah terminal bus Kota Sumedang akan menemukan putaran perempatan
Alam Sari. Terus lurus, langsung ke arah Situraja-Wado. Bisa juga melalui jalur
ke arah Cirebon. Tetapi menurut saya melewati jalur Cirebon kalau dari Bandung
agak jauh, dibandingkan lewat Situraja.
Apabila sudah sampai di Kecamatan Situraja. Sekitar 400 meter sehabis pasar Situraja, ada jalan sedikit menurun siap-siap belok kiri. Tepatnya belok
dari Warung Ketan. Terus cari arah Desa Sudapati-Pajagan berlanjut ke Jatigede.
Melewati jalur ini jangan sungkan untuk bertanya. Sebab di jalan ini tidak ada
petunjuk arah menuju bendungan. Jalan perkampungan ini agak sempit tetapi sudah
diaspal. Setelah memasuki lokasi bendungan kondisi jalan agak bergelombang
karena dalam tahap perbaikan. Tetapi mudah dilalui kendaraan mobil maupun motor.
|
Pintu sbuang aluran air |
Bagi pengunjung yang akan berwisata dari arah Garut, Tasikmalaya ada dua
pilihan jalur menuju Jatigede. Jalur pertama, bisa melalui jalur Wado menuju Cadasngampar.
Tetapi lewat jalur ini wisatawan hanya bisa melihat pemandangan bendungan
Jatigede dari perbukitan. Pengunjung tidak bisa menuju pintu gerbang utama
bendungan. Karena akses jalan dari arah Wado menuju Jatigede sebagian sudah
terendam air.
Sedangkan jalur kedua bisa melalui jalan utama Wado-Sumedang. Awal memasuki
Kecamatan Situraja di pertigaan kampung Cisitu atau Malingping, bisa langsung
belok kanan. Atau belok kanan dari Warung Ketan sama saja akan ketemu di jalan
Desa Pajagan, dan berlanjut ke Jatigede. Nantinya ada jalan utama yang
menghubungkan dari bendungan Waduk Jatigede langsung ke jalan raya
Wado-Sumedang, sekarang masih dalam tahap pengerjaan.
Melalui jalur Situraja ini, dari jalan raya Wado-Sumedang ke Waduk
Jatigede lebih dekat. Waktu tempuh kira-kira satu jam ke lokasi bendungan -- melewati
beberapa desa dan perkampungan penduduk. Setelah sampai di Desa Pajagan
pengunjung akan melewati hutan jati, dan tidak lama akan tiba di areal proyek bendungan
Waduk Jatigede.
Pengunjung yang berasal dari arah Situraja ini akan tiba dari samping selatan
tembok bendungan Jatigede. Posisinya berada di atas bukit yang sudah diratakan untuk
areal parkir dan sebagai sarana pandang bagi para wisatawan. Sayang,
permukaanya masih tanah merah. Jika musim hujan tanah akan lengket dan licin. Berbeda
dengan areal parkir di sebelah utara bendungan relatif lebih baik.
|
Patahan Bukit Baribis
|
Memasuki areal proyek bendungan ini pengunjung akan dikenakan restribusi
parkir. Untuk sepeda motor Rp 5.000,-, mobil Rp 10.000,-. Pengelolaan parkir sebelah
selatan bendungan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Pajagan, Kecamatan Cisitu. Sedangkan
pengeloaan restribusi parkir di areal sebelah utara dilaksanakan oleh
Pemerintahan Desa Cijeungjing.
Jika ingin melihat lebih dekat ke pintu gerbang utama bendungan.
Pengunjung dari arah Situraja bisa langsung menyusuri jalan agak menurun. Jalan
yang berada di belakang bentangan tembok raksasa sepanjang 1.715 meter itu. Kemudian
melewati jembatan kali Cimanuk dan akan ketemu jalan raya dari arah
Tomo-Tolengas, dan akan tiba di lokasi depan bendungan Jatigede.
Bagi pengunjung dari Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan. Bisa
melalui tujuan Tomo-Tolengas dan berlanjut ke Desa Cijeungjing, Jatigede. Lewat
jalur ini kondisi jalan cukup lebar beraspal mulus dan bisa langsung menuju
areal depan obyek wisata Jatigede.
Gencarnya pemberitaan Waduk Jatigede di media, banyak mengundang rasa
penasaran masyarakat untuk melihat langsung ke lokasi. Tak heran setiap akhir
pekan antrian kendaraan mobil dan motor wisatawan berdatangan dari berbagai
daerah. Indikasinya terlihat dari plat kendaraan terparkir dan yang baru berdatangan.
Seperti dari Bandung, Garut Indramayu, Majalengka, Cirebon, Kuningan dan
lain-lain.
Terlepas dari pro-kontranya keberadaan bendungan Waduk Jatigede-- telah dan akan menjadi destinasi wisata baru di Kabupaten Sumedang. Seperti pada Sabtu lalu, walaupun siang itu terik matahari cukup panas. Tetapi tak menyurutkan semangat para wisatawan datang untuk melihat Waduk Jatigede lebih dekat. Ada yang datang perorangan, dan ada juga secara rombongan dengan bus carteran. Tak ketinggalan para komunitas biker turut hadir meramaikan suasana. Siang itu petugas parkir dibantu aparat kepolisian dibuat sibuk mengatur keluar masuk kendaraan.
Untuk melihat lebih dekat ke kostruksi bendungan. Para pengunjung harus rela
berjalan kaki kira-kira 300 meter dari areal parkir, jarak yang cukup lumayan
untuk menguras keringat. Disarankan bagi pengunjung untuk membawa payung untuk
berjaga-jaga dari sengatan panas matahari, dan turun hujan. Kendaraan tidak
diperbolehkan masuk lebih dekat ke areal proyek. Mungkin faktor keamanan, karena
akan mengganggu aktivitas para pekerja. Seperti ketika itu masih terlihat keluar
masuk lalu-lalang kendaraan berat.
Pengunjung pun tidak diperbolehkan masuk dan naik ke atas tembok utama bendungan.
Akses pintu masuk utama tembok bendungan dijaga anggota TNI, bersama pekerja
proyek. Para wisatawan yang datang hanya bisa melihat dari tempat yang sudah
disediakan. Dari situ dapat melihat pemandangan, perbukitan yang sudah
digunduli. Serta melihat genangan air yang lambat laun sudah merambat naik merendam
persawahan dan perkampungan penduduk.
Ternyata dari sekian banyak pengunjung, ada di antara mereka yang merasa sedih melihat tanah dan kampung halamannya harus lenyap. Betapa tidak di tanah
itu mereka sudah tinggal puluhan tahun. Dan di tanah itu mereka dilahirkan dan
dibesarkan, kini harus mereka tinggalkan.
Setelah mengunjungi Waduk Jatigede. Penulis juga
menyempatkan diri melihat ke daerah genangan di kampung Cibungur, Desa
Jatibungur, Kecamatan Darmaraja. Terlihat beberapa rumah sudah dibongkar dengan
sukarela. Bahkan ada warga sedang berkemas akan pindah. Tak kalah sibuk, di
sudut lain ada juga yang sedang menyiapkan
bahan bangunan, dan memilah-milah batu bata dari sisa reruntuhan. Sementara di
jalanan kampung itu tampak hilir mudik mobil bak terbuka, dan truk mengangkut
bahan bangunan. Hal yang sama sepertinya terjadi di kampung lain yang terkena genangan
Waduk Jatigede.
Mereka yang
sudah membongkar rumah dan pindah tempat tinggal ini umumnya sudah mendapatkan
uang tunai yang besarannya berbeda
setiap keluarga, tergantung masuknya ke kelompok mana. Pemerintah membagi dua
kelompok keluarga. Untuk kelompok A, adalah mereka yang berhak mendapatkan
konpensasi berdasarkan Permendagri No. 15 tahun 1975, besaran uang untuk rumah
pengganti Rp 122.591.200,- . Sedangkan untuk kelompok B, adalah berdasarkan Keppres No.55 tahun 1993, dan Perpres No.36 tahun
2005, besaran uang
santunan Rp 29.360.192,-. Kelompok B ini umumnya berasal dari pecahan keluarga.
Tidak mudah
untuk mendapatkan uang pengganti itu. Setiap keluarga harus melengkapi berbagai
persyaratan administrasi terlebih dahulu. Bahkan jika ahli waris sudah ada yang
meninggal maka harus mengikuti sidang ahli waris. Tentunya setelah melengkapi berkas-berkas
yang diperlukan, dan sudah lolos verifikasi dan divalidasi. Tak heran hampir
setiap hari kecuali hari libur ada sidang maraton di pengadilan Agama Kabupaten
Sumedang. Semenjak ada sidang ahli waris dampak proyek Jatigede setiap hari kantor itu
mendadak ramai, tidak seperti biasanya.
|
Salah satu areal pesawahan di Kampung Cibungur, Darmaraja sebelum tergenang
|
|
Bongkaran rumah di Cibungur, Darmaraja
|
Persoalan
belum tuntas. Setelah mendapatkan uang tunai pun warga dampak Jatigede dibuat
bingung mengatur biaya untuk pindah, dan membangun tempat tinggal baru. Harga
tanah dan bahan bangunan di daerah itu mendadak ikut meroket. Bahkan sampai
saat ini pun masih banyak warga yang bertahan di daerah genangan. Karena mereka
belum menemukan kecocokan tempat untuk pindah, baik dari harga maupun lokasinya.
Permasalahan krusial lain adalah hilangnya mata pencaharian mereka, yang
rata-rata petani.
Terlepas dari
semua persoalan yang dihadapi warga dampak Waduk Jatigede. Kabupaten Sumedang kelak
akan mempunyai obyek wisata baru yang potensial untuk berkembang. Dengan adanya
dukungan jalan tol Cisumdawu sepanjang 60 km yang menghubungkan Cilenyi, Sumedang. Dawuan. Dan
juga adanya Bandara Internasional Kertajati di Majalengka dalam pengerjaan. Nantinya
bisa menjadi kredit poin untuk menarik para wisatawan baik lokal maupun asing
berkunjung ke obyek wisata Jatigede dan tempat-tempat wisata lain di Kota Sumedang.
Diharapkan
pengembangan wisata Waduk Jatigede dan sekitarnya bisa cepat terwujud. Sehingga
akan mendongkrak perekonomian masyarakat itu sendiri. Tentunya dalam
pengembangan obyek wisata nanti, diharapkan melibatkan dan mengutamakan
sumberdaya dari warga sekitar yang terkena proyek Waduk Jatigede. Sehingga mereka
akan merasakan manfaat nyata. Dan mereka pun bisa segera mendapatkan kembali
mata pencaharian baru dari kebangkitan parawisata di daerah tersebut. Semoga!