Wednesday 14 October 2015
Curug Cikondang Butuh Sentuhan Kreatif
Deru suara sepeda motor lambat laun mulai
menghilang. Kemudian lenyap ditelan suara gemuruh curug Cikondang dari arah
lembah pegunungan, dan rasa lelah pun mendadak sirna seketika. Terlihat dari
atas bukit sebuah air terjun
mengeluarkan buih
putih terbawa tiupan angin. Tampak raut wajah ceria dari para peserta touring. Bahkan ada yang spontan berteriak gembira seolah lupa akan
lelah yang mendera sepanjang perjalanan.
Berawal
ketika saya ikut menemani teman-teman yang melakukan perjalan ke Gunung Padang,
dan curug Cikondang di Cianjur, Jawa
Barat. Buat saya ini kunjungan untuk kali yang kedua ke situs megalitikum itu. Setelah
sebelumnya pada bulan Agustus silam.
Mengawali
pemberangkatan dari meeting point di sebuah
pom bensin Warung Jambu, Bogor. Yang
semula dijadwalkan sudah berkumpul pukul 07 WIB pagi, ternyata teman-teman
datang pada terlambat, alias molor. Maklum
macet, jelang libur akhir pekan. Tanpa terkecuali di Ciawi dan Gadog menuju arah Puncak, lebih macet
lagi.
Sekitar
pukul 10 WIB rombongan kami tiba di Gunung Padang. Sudah biasa setiap hari
Sabtu, dan Minggu situs itu selalu didatangi para wisatawan. Kurang lebih dua
jam kami berada di puncak bukit Gunung Padang menikmati hawa dan panorama pegunungan.
Setelah merasa cukup berada di situs tersebut,
kemudian perjalanan dilanjutkan mengunjungi air terjun curug Cikondang. Menurut
salah satu petugas, dari situs Gunung Padang ke curug tersebut jaraknya sekitar
7 km.
Secara geografis curug Cikondang berlokasi di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Jarak dari kota Cianjur sekitar 37 km
atau waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Untuk menuju ke lokasi air terjun bisa lewat
jalur Cianjur-Sukabumi kemudian belok kiri ke jalan Cilaku berlanjut ke
Cibeber. Dan bisa juga melalui jalur Warung Kondang, Bebedahan, Lampegan ikuti
arah ke situs Gunung Padang. Setelah di pertigaan Lampegan belok kiri.
Sekitar
pukul 13.00 WIB rombongan kami berangkat menuju curug Cikondang. Meninggalkan
situs Gunung Padang yang terus didatangi para pengunjung. Di sepanjang
perjalanan kemana mata memandang selalu disuguhi hamparan hijau perkebunan teh.
Sepertinya alam pegunungan turut pula memberi semangat kepada teman-teman saya yang
penasaran ingin segera melihat air terjun Cikondang.
Jelang pertigaan jalan di Lampegan kami sedikit ragu arah
jalan yang benar menuju curug Cikondang. Karena di pertigaan itu tidak ada
petunjuk arah jalan. Tidak mau ambil resiko kesasar, maka kami mencari
informasi ke warga kampung setempat. Padahal alangkah baiknya apabila
dari pemerintah Desa Sukadana selaku pengelola curug Cikondang berinisiatif
membuat petunjuk arah. Walaupun harus dibuat sederhana akan sangat membantu
kepada para pengunjung yang akan berwisata ke air terjun tersebut.
Setelah
menempuh hampir 4 km perjalanan. Kami harus berjuang keras menaklukan jalanan yang
tidak bersahabat. Sebab kira-kira 3 km jalanan berkelok, menurun, dan berbatu
rusak parah. Kondisi permukaan jalan bergelombang dengan batu-batu hampir
sebesar dua kali kepalan orang dewasa muncul ke permukaan. Di jalanan ini para
pengendara dituntut untuk ekstra hati-hati, dan harus pintar-pintar memilih
jalan agar tidak jatuh terpeleset.
Bagi
yang membawa kendaraan, baik roda dua atau pun empat disarankan tidak memakai
kendaraan ban rodanya pendek-- seperti jenis sedan. Sebab apabila kaki roda
pendek, risikonya permukaan gardan akan mentok ke batu jalanan. Begitu pun
untuk sepeda motor, sebaiknya tidak memakai roda ceper. Kalau tidak ingin
menemui keculitan di perjalanan.
Kalau
kondisi jalan rusak terus demikian dibiarkan saja, tidak ada perbaikan sama
sekali. Tentu para pengunjung yang akan menikmati wisata alam akan berpikir dua
kali untuk datang ke tempat itu. Bahkan bisa kapok. Tentu hal ini akan
merugikan pendapatan daerah setempat. Tetapi sebaliknya apabila kondisi jalan
itu bagus, paling tidak layak dilalui kendaraan. Mungkin akan lebih banyak lagi
para traveling datang. Dan tentu lambat-laun akan membangkitkan potensi wisata itu
sehingga berkorelasi dengan kebangkitan ekonomi di pedesaan itu sendiri.
Selepas
jalan yang rusak. Teman-teman para biker
akhirnya bisa bernapas lega karena telah lolos dari rintangan jalanan yang
tidak bersahabat itu. Tidak beberapa lama dari jauh samar-samar terdengar suara
gemuruh air terbawa angin pegunungan dari balik bukit. Lambat-laun suara itu semakin
keras terdengar bersaing dengan deru suara motor para biker.
Tidak
disangka di balik bukit itu ternyata tersembunyi sebuah curug. Dari atas jalan
dekat tikungan, air terjun itu terlihat begitu indah. Air yang mengalir dari
kali kecil itu jatuh--memberikan pemandangan menarik. Bentuknya yang melebar perkiraan
panjangnya 30 meter dengan ketinggian kira-kira 50 meter. Tak berlebihan
apabila ada sebagian orang menyebut curug Cikondang sebagai miniatur Niagara di
Jawa Barat, karena mungkin mirip.
Di
sekitar lokasi tersedia juga areal parkir yang sudah dibuat secara swadaya oleh
warga desa Sukadana. Dan pengelolaan air terjun itu pun dilakukan oleh pihak
desa setempat. Untuk tarif masuk ke lokasi sebesar Rp 5.000,- per orang. Tetapi
ketika hari Sabtu rombongan kami datang, dan juga rombongan dari Bandung sama
sekali tidak dipungut biaya, alias gratis. Memang waktu itu tidak terlihat ada
petugas berjaga. Atau mungkin tarif masuk hanya berlaku setiap hari Minggu
saja? Kami tidak tahu.
Setelah
memarkir kendaraan, kami memilih istirahat sambil mencari ganjalan perut di
sebuah warung yang berada dekat areal parkir. Maklum, untuk sampai ke curug
Cikondang ini cukup banyak menguras tenaga, dan sengatan panas dari terik matahari.
Tetapi bersyukur hawa pegunungan tetap memberikan kesegaran bagi kami. Tidak
hanya itu suara gemuruh itu pun seolah memberi semangat untuk cepat-cepat
melangkahkan kaki menuju air terjun itu.
Setelah
istirahat, kami langsung ke lokasi air terjun tersebut. Ternyata untuk menuju
lokasi air terjun harus traking
kira-kira 1 km, menyusuri jalan setapak di pinggir perkebunan dan persawahan
terasering yang terlihat hijau sangat menarik. Curug ini masuk dalam kawasan
perkebunan teh PTP VIII Panyairan. Sayang, ketika itu debit air sedikit karena
musim kemarau panjang. Seandainya debit air itu banyak pasti semakin memberi
keindahan curug itu sendiri.
Ternyata
dari dekat pemandangan air terjun itu semakin menarik. Walaupun siang hari,
udara di sekitar air terjun itu terasa sejuk. Tak heran para pengunjung betah berlama-lama
di tempat itu. Sambil berfoto ria mengabadikan setiap sudut di batu-batu besar.
Termasuk teman-teman saya, tidak mau ketinggalan sibuk mencari tempat yang dianggap
cocok untuk ikut mejeng diambil
gambarnya. Buat dijadikan kenang-kenangan atau pun sekadar foto dokumentasi
pribadi. Sayang memang apabila sudah pergi jauh-jauh tidak ada foto kenangan.
Tetapi
ingat! Bagi Anda yang akan mengambil gambar di atas batu harus hati-hati ketika
melangkah. Karena ada sebagian permukaan batu yang licin. Jika kaki sampai
terpeleset ke bawah akibatnya akan patal. Apalagi tepat di bawah air jatuh
terdapat jurang berbatu membentuk kolam dengan pusaran air yang dalam. Memang,
di atas batu besar itu menjadi tempat favorit untuk berfoto.
Di air terjun itu kami tidak berani untuk mandi. Sebab
menurut informasi yang di dapat dari berbagai sumber, aliran air itu mengandung
mercury, simbol HG (hydragyrum). Sebuah zat kimia berbahaya
bekas limbah pengelolalaan emas tradisional yang berada di atasnya. Kalau hal
ini benar, sangat disesalkan sekali. Seharusnya ini tidak terjadi sebab akan
merusak lingkungan di sepanjang aliran kali. Karena zat adiktif ini susah
musnah, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa hilang.
Hanya
sekadar sumbang saran. Lokasi air terjun ini sepertinya masih kurang dikelola
dengan sungguh-sungguh. Tampak di sekitar air terjun terkesan kotor, banyak sampah. Kami pun tidak
melihat adanya fasilitas pendukung , seperti MCK atau mushola. Rasanya curug
ini butuh penataan lebih serius, dan sentuhan kreatif dalam mengelolanya untuk
semakin menarik banyak pengunjung. Padahal menurut hemat saya, potensi untuk
lebih baik masih ada.
Sekitar
pukul 15.00 WIB akhinya kami pulang meninggalkan curug Cikondang. Melalui jalur
menuju arah Campaka atas saran penduduk
setempat, katanya kondisi jalan agak bagus. Tidak separah yang dilewati tadi. Yang
lebih menarik lagi, ternyata di jalur ini pemandangannya tak kalah bagus dari sebelumnya.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh teman-teman para biker untuk kembali berfoto bersama. Pesona sinar surya sore hari
semakin mempercantik view perbukitan
perkebunan teh itu.
Setelah
tiba di Puncak, Bogor. Kami istirahat sambil menikmati jagung bakar dan seduhan
kopi panas, sambil dihibur oleh seniman jalanan. Rasanya kurang pas di tempat
udara yang dingin tidak ngopi. Setelah
cukup istirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Seluruh
peserta touring di antaranya: Pak Yakub, Pak Widodo, Gaston, Sanudd, Anggit,
Tomo, Alfa, Dimas, Hendra, Hendar, dan saya pribadi. Semuanya membawa kesan beragam, banyak cerita tentang
situs Gunung Padang, dan curug Cikondang di Cianjur. Dan beryukur rombongan kami pun tiba di rumah
masing-masing dengan selamat.