Monumen Illegal Fishing di Pantai Pangandaran

Maaf Mba, batu-batu itu nggak boleh dibawa pulang, nanti bisa kesurupan. Kemarin ada orang dari Bandung kesurupan setelah mengambil batu dari sini, kata tukang perahu kepada salah seorang perempuan setengah baya.

Gunung Prau Dieng Suguhkan Pesona Kahyangan

“Bangun,… bangun…, ayo bangun kalau kepengen melihat pamandangan bagus! Udah jauh-jauh bayar. Kalau mau numpang tidur jangan di sini, di rumah nenek saja!,” begitu teriak salah satu petugas (ranger) ketika menjelang subuh.

Menyaksikan Pohon 'Berdarah' di hutan Gunung Halimun

Ketika bedog (golok) itu digoreskan sedikit saja ke kulitnya. Cairan berwarna merah darah itu membuai keluar. Seketika kami terpana melihatnya. Sambil menatap ujung jari telunjuk sang pemandu yang mencolek lelehan cairan itu.

Menikmati Cakrawala Biru di Laut Batu Hiu

“Bulan di Batu Hiu” adalah sebuah judul lagu pop Sunda. Mengisahkan sebuah janji cinta. Disaksikan bulan purnama dikeindahan Batu Hiu. Dari keindahan Batu Hiu itulah telah menginspirasi Doel Sumbang dalam mencipta.

Hari Kartini di Gunung Gede

Lagu Indonesia Raya pun bergema ketika ratusan pencinta alam memperingati hari Kartini di lembah Gunung Gede-Pangrango. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.

Sunday 6 December 2015

Gunung Prau Dieng Suguhkan Pesona Kahyangan


“Bangun,… bangun…, ayo bangun kalau kepengen melihat pamandangan bagus! Udah jauh-jauh bayar. Kalau mau numpang tidur jangan di sini, di rumah nenek saja!,” begitu teriak salah satu petugas (ranger) ketika menjelang subuh. Membangunkan ratusan para pendaki yang sedang berkemah di puncak Gunung Prau. Suasana masih gelap, para pendaki satu persatu berhamburan menuju lereng sebelah timur. Mencari posisi yang baik untuk berburu keindahan pemandangan alam.


Itulah sepenggal peristiwa dari Gunung Prau.  Ketika saya bersama teman-teman melakukan pendakian ke gunung tersebut beberapa waktu lalu. Sebanyak 18 pecinta alam ikut serta dalam rombongan. Terdiri dari 13 pria dan 5 wanita. Memulai pemberangkatan dari Jakarta pada Jumat malam sekitar pukul 23.00 WIB. Ini sebenarnya waktu pemberangkatan sangat mepet. Padahal target kami Sabtu pagi sudah harus melakukan pendakian.

Kira-kira pukul 11.30 WIB rombongan kami tiba di Banjarnegara. Terlebih dahulu mampir ke rumah salah satu teman untuk istirahat. Perjalanan kami dari Jakarta ke Banjarnegara menempuh waktu hampir 12 jam, cukup melelahkan. Perkiraan pada hari Sabtu pagi sudah sampai di Banjarnegara ternyata meleset. Apa boleh buat pendakian ke Gunung Prau harus tetap terlaksana. Walaupun kami punya waktu libur sedikit. Setelah makan dan cukup istirahat, sekitar pukul 14.00 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo.


Perjalanan dari kota Wonosobo sampai kawasan Pegunungan Dieng sempat diguyur hujan. Keadaan ini menjadikan kami sedikit was-was. Jika hujan terus menerus turun, pasti akan menyulitkan pendakian. Maklum, saya dan teman-teman bukan pendaki profesional. Selain itu kami kurang mengenal kondisi medan jalur pendakian Gunung Prau yang sesungguhnya. Walaupun sebelumnya sudah berusaha mencari informasi tentang Gunung Prau. Tetapi kekhawatiran itu tetap ada.

Akibat guyuran hujan menjelang Dieng laju kendaraan agak lambat. Saya lihat teman-teman sangat menikmati perjalanan itu. Canda dan tawa menyertai perjalanan. Tetapi ada juga yang tidur pulas terbawa mimpinya sendiri. Jalanan di kawasan Dieng yang berkelok-kelok. Di sebelah kiri-kanannya menyuguhkan pemandangan pegunungan yang elok. Tampak pula perkebunan terasering memberi warna tersendiri terhadap panorama perbukitan. Walaupun masih musim kemarau, pesona Dieng tetap menarik untuk dinikmati.  



Sekitar pukul 16.00 WIB kami tiba di Patak Banteng. Track ini memang telah menjadi favorit bagi para pendaki. Melewati jalur Patak Banteng pendakian relatif pendek dibandingkan lewat Dieng. Prakiraan waktu tempuh bisa mencapai antara 2-3 jam. Tetapi jalur Patak Banteng mempunyai tingkat elevasi yang curam. Sehingga kami pun, dan para pendaki lain tidak boleh menganggap enteng jalur ini. Sebenarnya Gunung Prau dapat didaki melalui tiga jalur. Yaitu dari Kenjurang, Patak Banteng, dan Dieng.



Secara geografis Gunung Prau berada di daratan tinggi Dieng, Jawa Tengah. Terletak di antara tiga kabupaten yaitu Kendal, Batang dan Wonosobo. Dengan ketinggian 2.565 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung Prau paling tinggi di antara Gunung Sipandu, Gunung Pangamun-amun, dan Gunung Juranggrawah yang berada di kawasan Dieng. Gunung Prau, telah menjadi salah satu primadona bagi para pendaki. Karena tidak terlalu tinggi untuk didaki dan jarak tempuh yang pendek. Rasanya ada yang kurang apabila belum mencoba mendaki menikmati keindahan alam dari puncak Gunung Prau.

Setelah turun dari kendaraan. Kami mempersiapkan barang bawaan masing-masing. Sementara Gunawal dan Ipin, kordinator rombongan melapor ke pos jaga. Walaupun hari semakin sore dan sebentar lagi malam akan tiba. Kami melihat para pendaki masih ramai berdatangan. Areal parkir dekat pos jaga pun sudah dipenuhi kendaraan mobil dan motor. Padahal ketika itu hari libur biasa, Sabtu dan Minggu. Tak salah memang jika keberadaan Gunung Prau menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendaki gunung.


Sekitar pukul 17.00 WIB. Diiringi guyuran hujan rintik-rintik, rombongan kami mengawali pendakian. Raut muka kelelahan belum hilang di wajah teman-teman. Tetapi dengan doa dan keyakinan diri dari masing-masing peserta. Untuk menggapai puncak Gunung Prau masih tetap semangat. Semangat kami bukan untuk menaklukkan alam. Tetapi prinsip kami adalah ingin bersahabat dengan alam. Menikmati dan memelihara keindahan alam yang telah diberikan Tuhan kepada umat manusia.


Baru beberapa langkah dari pos jaga. Track Patak Banteng sudah memberikan tantangan. Padahal masih di sekitar perkampungan penduduk. Di jalur jalanan ini tidak ada istilah pemanasan. Langkah kaki para pendaki tanpa kompromi, akan langsung diajak berjuang melawan tanjakan menuju pos 1 Sikut Dewo. Awal yang lumayan menguras tenaga. Tak ayal banyak para pendaki dibuat kerepotan.


Pelan tapi pasti satu per satu para pendaki tiba di pos 1. Ramainya para pendaki yang datang pada hari itu membuat perjalanan harus antri. Karena jalur pendakian sangat sempit. Naik dari pos pertama ini pendaki  harus berpegang pada batangan bambu. Kami melihat beberapa petugas, ranger Gunung Prau mengawasi para pendaki. Para petugas ini dengan sigap siap membantu apabila ada pendaki yang mendapat kesulitan. Bahkan mereka siap menjadi porter untuk membawa barang sampai ke atas.


Beruntung hujan sudah berhenti. Malah cuaca di sekitar gunung berubah menjadi cerah. Keadaan ini membawa gembira kepada para pendaki. Sebaliknya jika hujan terus menerus turun maka tanah jalur pendakian akan licin. Hal ini tentu tidak diinginkan oleh para pendaki. Karena akan menyulitkan perjalanan menuju puncak. Sepertinya hujan rintik-rintik tadi tidak sampai membasahi ke lapisan tanah bagian bawah. Sehingga ada sebagian jalur tanah gembur yang dilewati para pendaki mengakibatkan debu berterbangan. Beruntung kami mempersiapkan masker agar tidak mengirup debu.


Setelah melewati pos 3, hari semakin sore. Keadaan semakin gelap, para pendaki mulai menyiapkan lampu senter dan head lamp. Semakin ke atas jalur pendakian semakin menanjak. Bahkan ada sebagian dari rombongan kami yang kedodoran, tertinggal jauh di bawah. Melihat keadaan ini kami membuat basecamp darurat di pinggir jalur pendakian, untuk menunggu teman lain. Bahkan Hail, salah satu peserta harus kembali turun menjemput. Membantu membawa barang bawaan.



Ada juga yang mengalami kram kaki. Termasuk salah satu dari teman kami mengalami hal serupa. Kondisi demikian memang sering terjadi dialami oleh sebagian para pendaki. Biasanya disebabkan terlalu kecapean dan beban yang berat. Bisa juga karena kurangnya peregangan otot. Memang di sinilah kerjasama antar para pendaki sangat diperlukan. Bersyukur selama pendakian kami tidak mengalami masalah lebih parah. Memang itu sangat tidak diinginkan oleh kami dan para pendaki lain. Setelah rombongan kami komplit dan cukup istirahat perjalanan dilanjutkan. Sedangkan Ilham dan Alfa yang membawa peralatan tenda diminta naik terlebih dahulu untuk mencari lokasi buat mendirikan tenda.


Alam malam mulai terasa seolah memberi cobaan kepada para pendaki. Dengan tiupan angin dan suhu udara yang semakin dingin. Menusuk-nusuk ke pori-pori kulit tubuh. Sementara di lembah pemukiman penduduk terlihat kelap-kelip lampu penerang. Seolah mengobarkan semangat kepada para pendaki untuk tidak menyerah. Diiringi paduan suara binatang malam bersahutan sepertinya turut menyambut kehadiran kami semua. Dan memberi kabar, bahwa sebentar lagi puncak Gunung Prau akan tergapai.


Sekitar pukul  19.00 WIB rombongan kami tiba. Luar biasa! Camping groud  puncak gunung itu sudah dipenuhi tenda-tenda para pendaki. Bahkan di bukit sebelah timur dan utara Gunung Prau banyak juga para pendaki berkemah. Ketika itu suasana sangat ramai, seperti pasar malam. Agar bisa cepat istirahat, kami segera mendirikan tenda. Mengingat udara di puncak Gunung Prau semakin malam semakin dingin.



Ketika akan mendirikan tenda, saya dan teman-teman agak kerepotan. Disebabkan tipuan angin di puncak gunung sangat kencang. Serta suhu udara sangat dingin sedikit menghambat kerja kami. Bahkan saya dan Gaston agak kesulitan memegang tali tenda karena tangan ikut gemetaran. Tetapi dengan saling bahu-membahu tidak berapa lama empat tenda bisa berdiri. Naomi, dibantu teman wanita lain pun dengan sigap menyiapkan masakan. Sehingga seluruh peserta bisa menikmati makanan dan minuman menyegarkan. Berkat kerjasama yang bagus akhirnya kami pun bisa istirahat dan tidur.


Rasanya tidur belum pulas. Kami sudah terbangunkan oleh teriakan petugas yang datang dari arah  Selatan. Rupanya petugas Gunung Prau sengaja membangunkan para pendaki. Agar bisa menikmati keindahan pemandangan. Tidak berapa lama. Walaupun keadaan masih agak gelap. Tidak peduli hawa dingin dan terpaan angin kencang. Para pendaki berhamburan keluar dari tenda masing-masing. Menuju sisi lereng sebelah timur. Mencari posisi bagus untuk melihat pesona alam dan mengabadikannya.



Inilah keunggulan suguhan indah dari atas Gunung Prau. Padahal gunung ini gundul hanya sedikit ditumbuhi pohon pinus. Tetapi dari puncaknya kita bisa melihat pemandangan cantik. Berawal dari kemunculan garis memanjang warna merah dan gradasi kuning keemasan. Disusul kemunculan sunrise serta penampakan indah Gunung Sindoro dan Sumbing seolah muncul dari atas awan. Serta latar belakang puncak Gunung Merapi, Slamet dan Merbabu. Sehingga semakin indah lukisan alam itu.


Melihat penomena alam itu hampir seluruh pengunjung bersorak. Suatu anugrah Tuhan yang harus kita sukuri. Pantas saja ratusan bahkan ribuan orang rela berdatangan ke puncak Gunung Prau. Tidak hanya pengunjung lokal. Ada juga turis asing berbaur menikmati keindahan alam itu. Saya pribadi yang baru kali pertama datang ke puncak Prau merasa terharu dan gembira. Bersyukur masih bisa menikmati karya Ilahi yang tiada tara. Seperti sedang mimpi di negeri dongeng, berada di kahyangan.




Menurut keterangan Suwikno, salah satu angota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) kawasan Dieng. Hampir setiap libur akhir pekan selalu banyak dikunjungi para pecinta alam dari berbagai daerah. Apalagi kalau hari libur panjang. Serta didukung keadaan cuaca yang bagus. Bisa ribuan pendaki berdatangan ke puncak Gunung Prau.



Padahal menurutnya, di kawasan daratan tinggi Dieng terdapat juga obyek wisata lain yang tak kalah menarik. Ada Kawah Sikidang, Telaga Warna, kompleks Candi Arjuna, Semar dan Srikandi. “Saya siap memandu para wisatawan yang akan berkunjung ke kawasan Dieng dan sekitarnya. Sekaligus mencarikan tempat penginapannya,” kata Suwikno menawarkan diri. Namun menurutnya di kawasan Dieng belum ada hotel, ada juga homestay.



Bagi yang mau menginap bisa secara homestay yang banyak tersebar di sekitar Dieng. Bahkan ia siap mencarikan homestay dari yang kelasnya mahal sampai relatif murah. Rumah petakan juga ada, ujar Suwikno berpromosi. Bagi yang berminat berwisata ke daerah Dieng silahkan menghubungi Pak Suwikno, telepon: 085 868 622 716, 085 328 405 267 atau kirim e-mail: ahmadsuwikno@yahoo.com.


Sekitar jam 9.00 WIB kami beres-beres. Bersiap, karena harus segera meninggalkan puncak Gunung Prau. Rasa cape dan lelah terbayar sudah setelah menyaksikan keindahan alam itu. Untuk kembali pulang, kami sepakat memilih jalur Dieng. Melewati jalur Dieng ini bisa menikmati pemandangan perbukitan dan tanah lapang. Seperti di serial film anak Teletubbies dan Bunga Daisy yang malu-malu mekar karena kemarau panjang ketika itu.


Ternyata banyak juga yang melewati jalur ini. Sepanjang perjalanan kita akan berada di atas pegunungan. Tetapi harus hati-hati melalui jalur ini karena di sisi kiri-kanan terdapat jurang.  Melewati jalur Dieng, kita akan disambut hutan pinus yang memberikan teduh. Dengan akar-akar melintang yang timbul ke permukaan. Dari atas di sepanjang jalan ini juga bisa melihat pemandangan lembah Dieng dan pemukiman penduduk.


Walaupun jarak tempuhnya jauh, tetapi track-nya landai. Karakter jalan ini sangat cocok bagi yang hobi hiking. Menjelang mendekati menara tower ada tiga pilihan jalur jalan. Bisa lewat Kalilembu, jalur Dieng lewat menara tower, dan jalur baru menuju Dieng. Sayang ketika itu saya tidak menemukan petunjuk arah. Agar tidak keliru memilih jalan sebaiknya jangan ragu untuk bertanya. Sekadar informasi, sekarang ada jalur shotcut yang baru dibuka. Jalur alternatif ke arah Dieng ini lebih landai berada di bawah jalur menara tower. Menurut Syarif salah satu ranger, jalur ini bahkan akan diperlebar sehingga lebih nyaman dilewati.


Ada yang menarik melewati jalur Dieng ini. Saya melihat semangat kesigapan dua orang pemungut sampah. Entah itu dari petugas atau relawan. Yang jelas semangatnya patut dicontoh. Kedua orang ini terus menyisir jalur agak ke luar. Seorang di sebelah kiri dan satunya lagi di kanan jalur perbukitan. Mereka memungut sampah-sampah yang sempat tertinggal. Memang, pada umumnya para pendaki sudah membawa pulang sampahnya masing-masing. Para pecinta alam menyadari hal ini. Termasuk dari rombongan kami membawa pulang sampah-sampah itu. Karena ini adalah salah satu komitmen pencinta alam mencintai alamnya.



Sekitar pukul 12.00 WIB rombongan kami semua sudah berkumpul di arel parkir Dieng. Untuk memulihkan kondisi badan yang lelah. Kami memilih istirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalan pulang. Sambil membersihkan debu-debu yang menempel di badan. Dan mengisi perut yang mulai keroncongan.  Di sekitar areal itu banyak juga para pendaki lain yang sedang istirahat. Tampak berderet juga warung makan, toko oleh-oleh dan cenderamata.



Baru sekitar pukul 14.00 WIB rombongan kami pulang meninggalkan kawasan Dieng. Kali ini kami memilih pulang lewat Batang, Kalisari, Pekalongan menuju arah Pantura. Berharap bisa memangkas waktu lebih cepat ternyata di Tegal sampai Brebes kendaraan terjebak macet. Disebabkan diberlakukan sistem buka-tutup jalan karena ada pengecoran jalan raya. Tetapi kami bersyukur bisa tiba kembali ke Jakarta sekitar pukul 2.00 WIB pagi dengan selamat.

Sunday 15 November 2015

Waduk Jatigede Destinasi Wisata Potensial di Sumedang

Di bawah pohon rindang di pinggir jalan berdebu. Orang tua itu seolah tak peduli oleh lalu lalang mobil dan motor yang ramai melintasi jalan itu. Ia sibuk sendiri menggali lubang untuk mendirikan tiang bambu. Sepertinya ia akan membuat sebuah saung sebagai tempat jualan -- mencoba mengais rezeki dari ramainya hilir mudik kedatangan para wisatawan ke lokasi bendungan Jatigede.


Waduk Jatigede. Proyek bendungan yang digagas era Soekarno sejak tahun 1963 lalu. Akhirnya pada 31 Agustus 2015 diresmikan oleh Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada awalnya akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo, tetapi batal datang. Sepertinya pemerintah mengejar pencapaian target listrik 35.000 Megawatt harus terpenuhi. Dengan diresmikannya bendungan Waduk Jatigede diharapkan dapat mengurangi krisis energi di negeri ini.

Bendungan Serbaguna Jatigede ini membendung aliran air Kali Cimanuk. Terletak di Kampung Jatigede Kulon, Desa Cijeungjing, Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Bendungan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Jatiluhur ini, menelan dana  tak kurang dari 7 triliun. Menurut sumber dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, total nilai kontrak proyek adalah US$239,573 dengan kontraktor dari Indonesia yaitu Wika, Waskita dan PP bersama China Sinohydro Corp.


Direncanakan bendungan ini akan menghasilkan energi listrik sebesar 110 Megawatt. Kemudian listrik yang dihasilkan Waduk Jatigede akan masuk ke sistem tranmisi Jawa-Bali. Selain itu akan mengairi sawah seluas 130.000 hektar di Kabupaten Indramayu, Majalengka dan Cirebon. Juga sebagai pengendali banjir di wilayah Cirebon dan sekitarnya. Tidak hanya itu air bendungan Waduk Jatigede bisa dimanfaatkan untuk kegiatan sarana olahraga, parawisata, budidaya ikan air tawar dan lain sebagainya.

Kondisi awal penggenangan

Tetapi dampak sosial yang diakibatkan proyek Jatigede tidaklah kecil. Adalah harus menenggelamkan areal seluas 6.738 hektar. Meliputi: sawah, hutan, permukiman rakyat, ladang, kebun, jalan desa, sekolah, tempat peribadatan dan lain-lain. Tidak hanya itu, ada 48 situs cagar budaya para leluhur kerajaan Sumedang Larang di daerah genangan harus dipindahkan. Di samping itu ribuan warga dari 35 Desa di 6 kecamatan yaitu; Jatigede, Cadasngampar, Wado, Cisitu, Situraja, dan Darmaraja. Harus meninggalkan tempat tinggal dari tanah leluhurnya yang sudah ditempati puluhan tahun.



Pada suatu kesempatan saya coba mengunjungi Waduk Jatigede itu. Untuk menuju ke lokasi, dari Bandung bisa melalui arah kota Sumedang. Dari patung endog (telor) lurus sedikit, putar balik terus belok kiri ke arah jalan Situraja-Wado (soalnya tidak boleh belok kanan langsung). Jika memakai jalan lingkar luar jalur ke Cirebon dari arah terminal bus Kota Sumedang akan menemukan putaran perempatan Alam Sari. Terus lurus, langsung ke arah Situraja-Wado. Bisa juga melalui jalur ke arah Cirebon. Tetapi menurut saya melewati jalur Cirebon kalau dari Bandung agak jauh, dibandingkan lewat Situraja.

Apabila sudah sampai di Kecamatan Situraja. Sekitar 400 meter sehabis pasar Situraja, ada jalan sedikit menurun siap-siap belok kiri. Tepatnya belok dari Warung Ketan. Terus cari arah Desa Sudapati-Pajagan berlanjut ke Jatigede. Melewati jalur ini jangan sungkan untuk bertanya. Sebab di jalan ini tidak ada petunjuk arah menuju bendungan. Jalan perkampungan ini agak sempit tetapi sudah diaspal. Setelah memasuki lokasi bendungan kondisi jalan agak bergelombang karena dalam tahap perbaikan. Tetapi mudah dilalui kendaraan mobil maupun motor.
Pintu sbuang aluran air

Bagi pengunjung yang akan berwisata dari arah Garut, Tasikmalaya ada dua pilihan jalur menuju Jatigede. Jalur pertama, bisa melalui jalur Wado menuju Cadasngampar. Tetapi lewat jalur ini wisatawan hanya bisa melihat pemandangan bendungan Jatigede dari perbukitan. Pengunjung tidak bisa menuju pintu gerbang utama bendungan. Karena akses jalan dari arah Wado menuju Jatigede sebagian sudah terendam air.


Sedangkan jalur kedua bisa melalui jalan utama Wado-Sumedang. Awal memasuki Kecamatan Situraja di pertigaan kampung Cisitu atau Malingping, bisa langsung belok kanan. Atau belok kanan dari Warung Ketan sama saja akan ketemu di jalan Desa Pajagan, dan berlanjut ke Jatigede. Nantinya ada jalan utama yang menghubungkan dari bendungan Waduk Jatigede langsung ke jalan raya Wado-Sumedang, sekarang masih dalam tahap pengerjaan.


Melalui jalur Situraja ini, dari jalan raya Wado-Sumedang ke Waduk Jatigede lebih dekat. Waktu tempuh kira-kira satu jam ke lokasi bendungan -- melewati beberapa desa dan perkampungan penduduk. Setelah sampai di Desa Pajagan pengunjung akan melewati hutan jati, dan tidak lama akan tiba di areal proyek bendungan Waduk Jatigede.

Pengunjung yang berasal dari arah Situraja ini akan tiba dari samping selatan tembok bendungan Jatigede. Posisinya berada di atas bukit yang sudah diratakan untuk areal parkir dan sebagai sarana pandang bagi para wisatawan. Sayang, permukaanya masih tanah merah. Jika musim hujan tanah akan lengket dan licin. Berbeda dengan areal parkir di sebelah utara bendungan relatif lebih baik.
Patahan Bukit Baribis
Memasuki areal proyek bendungan ini pengunjung akan dikenakan restribusi parkir. Untuk sepeda motor Rp 5.000,-, mobil Rp 10.000,-. Pengelolaan parkir sebelah selatan bendungan dilaksanakan oleh Pemerintah Desa Pajagan, Kecamatan Cisitu. Sedangkan pengeloaan restribusi parkir di areal sebelah utara dilaksanakan oleh Pemerintahan Desa Cijeungjing.

Jika ingin melihat lebih dekat ke pintu gerbang utama bendungan. Pengunjung dari arah Situraja bisa langsung menyusuri jalan agak menurun. Jalan yang berada di belakang bentangan tembok raksasa sepanjang 1.715 meter itu. Kemudian melewati jembatan kali Cimanuk dan akan ketemu jalan raya dari arah Tomo-Tolengas, dan akan tiba di lokasi depan bendungan Jatigede.


Bagi pengunjung dari Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan. Bisa melalui tujuan Tomo-Tolengas dan berlanjut ke Desa Cijeungjing, Jatigede. Lewat jalur ini kondisi jalan cukup lebar beraspal mulus dan bisa langsung menuju areal depan obyek wisata Jatigede.

Gencarnya pemberitaan Waduk Jatigede di media, banyak mengundang rasa penasaran masyarakat untuk melihat langsung ke lokasi. Tak heran setiap akhir pekan antrian kendaraan mobil dan motor wisatawan berdatangan dari berbagai daerah. Indikasinya terlihat dari plat kendaraan terparkir dan yang baru berdatangan. Seperti dari Bandung, Garut Indramayu, Majalengka, Cirebon, Kuningan dan lain-lain.

Terlepas dari pro-kontranya keberadaan bendungan Waduk Jatigede-- telah dan akan menjadi destinasi wisata baru di Kabupaten Sumedang. Seperti pada Sabtu lalu, walaupun siang itu terik matahari cukup panas. Tetapi tak menyurutkan semangat para wisatawan datang untuk melihat Waduk Jatigede lebih dekat. Ada yang datang perorangan, dan ada juga secara rombongan dengan bus carteran. Tak ketinggalan para komunitas biker turut hadir meramaikan suasana. Siang itu petugas parkir dibantu aparat kepolisian dibuat sibuk mengatur keluar masuk kendaraan.



Untuk melihat lebih dekat ke kostruksi bendungan. Para pengunjung harus rela berjalan kaki kira-kira 300 meter dari areal parkir, jarak yang cukup lumayan untuk menguras keringat. Disarankan bagi pengunjung untuk membawa payung untuk berjaga-jaga dari sengatan panas matahari, dan turun hujan. Kendaraan tidak diperbolehkan masuk lebih dekat ke areal proyek. Mungkin faktor keamanan, karena akan mengganggu aktivitas para pekerja. Seperti ketika itu masih terlihat keluar masuk lalu-lalang kendaraan berat.

Pengunjung pun tidak diperbolehkan masuk dan naik ke atas tembok utama bendungan. Akses pintu masuk utama tembok bendungan dijaga anggota TNI, bersama pekerja proyek. Para wisatawan yang datang hanya bisa melihat dari tempat yang sudah disediakan. Dari situ dapat melihat pemandangan, perbukitan yang sudah digunduli. Serta melihat genangan air yang lambat laun sudah merambat naik merendam persawahan dan perkampungan penduduk.


Ternyata dari sekian banyak pengunjung, ada di antara mereka yang merasa sedih melihat tanah dan kampung halamannya harus lenyap. Betapa tidak di tanah itu mereka sudah tinggal puluhan tahun. Dan di tanah itu mereka dilahirkan dan dibesarkan, kini harus mereka tinggalkan.

Setelah  mengunjungi Waduk Jatigede. Penulis juga menyempatkan diri melihat ke daerah genangan di kampung Cibungur, Desa Jatibungur, Kecamatan Darmaraja. Terlihat beberapa rumah sudah dibongkar dengan sukarela. Bahkan ada warga sedang berkemas akan pindah. Tak kalah sibuk, di sudut lain  ada juga yang sedang menyiapkan bahan bangunan, dan memilah-milah batu bata dari sisa reruntuhan. Sementara di jalanan kampung itu tampak hilir mudik mobil bak terbuka, dan truk mengangkut bahan bangunan. Hal yang sama sepertinya terjadi di kampung lain yang terkena genangan Waduk Jatigede.


Mereka yang sudah membongkar rumah dan pindah tempat tinggal ini umumnya sudah mendapatkan uang tunai yang  besarannya berbeda setiap keluarga, tergantung masuknya ke kelompok mana. Pemerintah membagi dua kelompok keluarga. Untuk kelompok A, adalah mereka yang berhak mendapatkan konpensasi berdasarkan Permendagri No. 15 tahun 1975, besaran uang untuk rumah pengganti Rp 122.591.200,- . Sedangkan untuk kelompok B, adalah berdasarkan Keppres No.55 tahun 1993, dan Perpres No.36 tahun 2005, besaran uang santunan Rp 29.360.192,-. Kelompok B ini umumnya berasal dari pecahan keluarga.


Tidak mudah untuk mendapatkan uang pengganti itu. Setiap keluarga harus melengkapi berbagai persyaratan administrasi terlebih dahulu. Bahkan jika ahli waris sudah ada yang meninggal maka harus mengikuti sidang ahli waris. Tentunya setelah melengkapi berkas-berkas yang diperlukan, dan sudah lolos verifikasi dan divalidasi. Tak heran hampir setiap hari kecuali hari libur ada sidang maraton di pengadilan Agama Kabupaten Sumedang. Semenjak ada sidang ahli waris  dampak proyek Jatigede setiap hari kantor itu mendadak ramai, tidak seperti biasanya.

Salah satu areal pesawahan di Kampung Cibungur, Darmaraja sebelum tergenang


Bongkaran rumah di Cibungur, Darmaraja


Persoalan belum tuntas. Setelah mendapatkan uang tunai pun warga dampak Jatigede dibuat bingung mengatur biaya untuk pindah, dan membangun tempat tinggal baru. Harga tanah dan bahan bangunan di daerah itu mendadak ikut meroket. Bahkan sampai saat ini pun masih banyak warga yang bertahan di daerah genangan. Karena mereka belum menemukan kecocokan tempat untuk pindah, baik dari harga maupun lokasinya. Permasalahan krusial lain adalah hilangnya mata pencaharian mereka, yang rata-rata petani.


Terlepas dari semua persoalan yang dihadapi warga dampak Waduk Jatigede. Kabupaten Sumedang kelak akan mempunyai obyek wisata baru yang potensial untuk berkembang. Dengan adanya dukungan jalan tol Cisumdawu sepanjang 60 km yang menghubungkan Cilenyi, Sumedang. Dawuan. Dan juga adanya Bandara Internasional Kertajati di Majalengka dalam pengerjaan. Nantinya bisa menjadi kredit poin untuk menarik para wisatawan baik lokal maupun asing berkunjung ke obyek wisata Jatigede dan tempat-tempat wisata lain di Kota Sumedang.

Diharapkan pengembangan wisata Waduk Jatigede dan sekitarnya bisa cepat terwujud. Sehingga akan mendongkrak perekonomian masyarakat itu sendiri. Tentunya dalam pengembangan obyek wisata nanti, diharapkan melibatkan dan mengutamakan sumberdaya dari warga sekitar yang terkena proyek Waduk Jatigede. Sehingga mereka akan merasakan manfaat nyata. Dan mereka pun bisa segera mendapatkan kembali mata pencaharian baru dari kebangkitan parawisata di daerah tersebut. Semoga!