Tuesday 15 September 2015

Gunung Padang Masih Banyak Menyimpan Rahasia

Naskah Bujangka Manik abad ke-16 menyebutkan suatu tempat " kabuyutan" (tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) berada di hulu  Cisokan, sungai yang diketahui berhulu di sekitar tempat situs tersebut. Menurut legenda, Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan semua ketua adat dari masyarakat Sunda Kuno.















Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914 juga melaporkan pertama kali tentang keberadaan situs Gunung Padang. Kemudian, N.J Krom sejarawan Belanda  tahun 1949 sudah menyinggung situs punden berundak itu. Pada tahun 1979 tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak mengarah Gunung Gede.

Berada di ketinggian 885 m dpl, dan areal situs ini sekitar 3 ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Situs megalitikum ini secara geografis berada di Kampung Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Dari pusat kota berjarak kira-kira 45 km atau waktu tempuh kurang lebih 1,5 jam.
Barsama Bah Dadi












Untuk mengobati rasa penasaran dari banyak cerita dan mitos tentang Gunung Padang. Maka pada suatu kesempatan saya bersama Sanudd --teman yang sama-sama suka traveling dan naik gunung itu memutuskan pergi ke Gunung Padang, Cianjur. Sabtu pagi sekitar pukul 8.20 WIB kami berangkat menggunakan angkutan umum minibus L300 jurusan Cianjur yang biasa mangkal di seberang terminal Baranang Siang Bogor, dengan tarif Rp25.000,- per orang untuk sekali jalan.

Estimasi waktu yang diperkirakan akan sampai di tempat tujuan lebih cepat, ternyata waktu banyak terbuang  di tol Ciawi menuju Puncak. Kendaraan yang kami tumpangi terjebak kemacetan panjang. Maklum  jelang hari libur akhir pekan. Beruntung sang sopir tahu jalan alternatif dengan melewati jalan perkampungan penduduk lumayan sedikit menolong dari kemacetan.

Sekitar pukul  13.00 WIB kendaraan kami tiba di perempatan Asten (Mall), begitu banyak orang menyebut. Perempatan dari arah  Cipanas sebelum kota Cianjur, kami pun turun. Kemudian naik angkot no. 02 warna merah  menuju Ranca Goong. Dilanjutkan naik angkot no. 43 warna abu-abu keputihan jurusan Bebedahan tarif Rp7.000,-.Dari Bebedahan ternyata ke Gunung Padang masih jauh kira-kira 15 km.

Untuk menuju Gunung Padang bisa menempuh dua pilihan.Pertama jalur Pal Dua, yaitu dengan menempuh jalan raya Cianjur-Sukabumi. Tepat di pertigaan Warungkondang, ada tulisan petunjuk arah situs Gunung Padang 20 km lalu mengambil arah kiri menuju arah Bebedahan-Lampegan-Pal Dua dan berakhir di Gunung Padang.Jalur kedua, bisa menggunakan jalur Tegal Sereh, dari Sukaraja belok kiri menuju Cireungas-Rawabesar-Sukamukti-Cipanggulan dan berakhir di Gunung Padang.

Menurut keterangan penduduk sekitar, angkutan menuju Gunung Padang tidak ada yang langsung. Kalaupun ada angkot hanya sampai Pal Dua atau Lampegan, itu juga jarang sekali. Kebanyakan sopir angkot rata-rata bersedia mengantarkan secara borongan. Sedangkan jika menggunakan jasa ojek dari pangkalan Bebedahan berkisar Rp50.000,- per orang.

Sebenarnya bisa juga naik menggunakan angkutan kereta api jurusan Bogor-Cianjur, juga sebaliknya. Menurut sumber situs resmi PT KAI--jadwal perjalanan setiap harinya  hanya dua kali pemberangkatan, yaitusekitar pukul 7.25 WIB, dan pukul 13.55WIB. Harga tiket Bogor-Cianjur Rp70.000,- , tiket harus dipesan terlebih dahulu. Apabila meggunakan jasa kereta api ini, anda bisa turun di stasiun Lampegan.

Sementara hari semakin siang, kami memilih istirahat di warung baso sekadar mengganjal perut dari rasa lapar. Sekaligus mencari tahu alternatif angkutan ke Gunung Padang. Beruntung  di warung itu kami kenal Maman, warga asli kampung Bebedahan. Ia menawarkan diri mau mengantarkan kami ke Pal Dua, katanya bayaran terserah. Tentu, kami menyambut gembira niat baiknya mengingat waktu semakin siang jelang sore. Dan disepakati bersedia dibayar Rp 75.000,- berdua. Akhirnya kami pun bisa berangkat menggunakan sepeda motornya dibonceng berdua.
Deru suara sepeda motor mengiringi perjalanan kami. Suasana perkampungan, perbukitan dan turun naik jalan berliku memberi kesan tersendiri bagi kami. Walaupun kemarau panjang suguhan hijau pemandangan kebun teh yang tumbuh subur tetap memberikan kesegaran pada alam sekitar. Sungguh merupakan anugerah yang luar biasa bagi negeri ini. 

Rupanya Maman tidak sampai Pal Dua, katanya tanggung. Ia berbaik hati mau langsung mengantarkan ke lokasi Gunung Padang. Seandainya sampai di Pal Dua, kami masih menempuh perjalan tiga kilo meter lagi.

Setengah jam perjalanan dari Bebedahan, kami tiba di lokasi. Areal parkir tepat di kaki bukit Gunung Padang tersebut sudah dipenuhi kendaraan bermotor roda dua. Sedangkan untuk parkir kendaraan roda empat lokasinya berada di bawah kira-kira 200 meter dari bukit Gunung Padang. Jadi pengunjung masih harus jalan lumayan jauh atau naik ojek.

Di sekitar areal parkir tampak berjejer warung makan dan kios cenderamata.Tepat di pojok dekat tangga masuk terlihat ada sumber air yang bening, katanya air tersebut dipercaya mempunyai karomah. Dahulunya air tersebut sering dipakai untuk acara ritual. Bahkan sampai sekarang pun masih banyak pengunjung mengambil air tersebut untuk dibawa pulang.
Teras Utama
Setelah membeli tiket masuk Rp3.000,- per orang. Satu demi satu sebanyak 468 anak tangga dari balok batu andesit yang direkonstruksi itu kami lewati. Tanjakan dengan kemiringan kira-kira 45 derajat  lumayan melelahkan. Di sisi kiri dan kanan jalur treking ini pengelola memasang pembatas jalur tangga terbuat dari batangan besi dicat hijau. Sekaligus sebagai pegangan sehingga memberi sedikit nyaman bagi para pengunjung untuk menaiki bukit. Jalur itu merupakan jalan utama yang asli untuk menuju puncak bukit Gunung Padang.

Sampai di bukit tampak pohon campaka berdiri kokoh memberi teduh kepada seorang bapak yang sedang bersender di bawah pohon itu. Berpakaian pangsi serba hitam, di kepala mengenakan kain biru bermotif batik sebagai ikat kepala khas Sunda. Di jari manis lengan kanannya terselip batu cincin jenis pancawarna. Di depannya tergeletak kantong kaneron anyaman khas Baduy. Dadi, begitu namanya sesuai tulisan yang tertera dibajunya,menyambut ramah kepada kami yang baru tiba di bukit.

Kami lebih suka memanggilnya Bah Dadi. Bapak yang sudah mengabdi  puluhan tahun sebagai petugas Dinas Purbakala ini adalah salah satu petugas pemandu situs Gunung Padang. Ia menemani kami keliling sambil menjelaskan fungsi setiap teras. Di mana di bukit tersebut terdapat 5 teras yang setiap teras ruang mempunyai fungsi berbeda yang hanya ditandai jejeran batu balok.
Batu Tapak Harimau
Kami pun diajak melihat batu gamelan, batu gong, batu gendong, ada juga batu bersimbol senjata kujang, dan batu mempunyai tanda tapak kaki harimau, dan lain-lain. Bahkan menurut Asep, tukang ojek yang biasa mangkal di lokasi parkiran Gunung Padang. Dahulu ia pernah melihat batu balok yang panjangnya hampir tiga meter. Tetapi  sekarang tidak ada lagi, mungkin menurutnya sudah diamankan untuk diteliti. Yang mengherankan  rata-rata batu-batu balok itu selain panjang, juga mempunyai 5 sudut (pentagonal). Ada apa dengan sudut pentagonal?

Apakah sudut pentagonal tersebut mungkin ada hubungannya dengan keberadaan 5 gunung yang berjejer? Bisa ia atau bisa tidak. Hanya bah Dadi mempersilakan kami duduk di sebuah batu untuk menghadap ke utara. Dan ditunjukkan garis lurus ke arah dimana terdapat berjejer gunung. Mulai dari Gunung Padang, Pasir Domas, Gunung Kancana, Pasir Pogor, dan Gunung Gede/Pangrango. Ada apa dengan rahasia ini, bah Dadi pun belum tahu.
Batu Tapak Simbol KujBatu Tapak KujBatu Tapak Kujang
Banyak rahasia yang belum terungkap dari Gunung Padang. Dan cerita kearifan lokal yang sudah turun temurun turut memberi warna tersendiri. Seperti dahulu kala pada suatu malam ada sebagian penduduk yang mendengar suara gamelan dari puncak bukit, seperti yang diceritakan bah Dadi.

Banyak artikel dan kajian literatur yang mengupas tentang situs megalitikum Gunung Padang, yang diperkirakan berumur 4.7000-10.000 SM, lebih tua dari piramid Mesir yang hanya 2.500 SM. Namun kebenarannya harus terus dibuktian dengan penelitian secara maksimal. Keberadaan situs Gunung Padang menjadi pembelajaran menarik untuk dikaji, dan diteliti. Suatu tantangan bagi para ahli untuk mengungkap lebih jauh kehidupan masa lalu para leluhur bangsa ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Batu sudut pentagonal
Entah sejak zaman kapan situs megalitikum itu dibangun dan siapa penguasanya? Ada yang menduga zaman Prabu Siliwangi atau sebelumnya. Masih belum jelas, butuh waktu dan kerja keras untuk mengungkapkannya. Tetapi dari hasil obrolan dan keterangan sepengetahuan bah Dadi sudah cukup mengobati rasa penasaran kami dari situs punden berundak tersebut. Seandainya tidak mendapat informasi, dan keterangan dari bah Dadi kami datang hanya melihat batu-batu balok berserakan saja tanpa mengetahui latar belakangnya.

Tidak terasa, matahari sudah miring ke barat--hari semakin sore-- dirasa cukup ngobrol bersama bah Dadi sambil keliling menikmati pemandangan dan hawa pegunungan. Sekitar pukul 15.00WIB kami memutuskan pulang diantar Asep sampai pangkalan angkot Bebedahan dengan tarif Rp75.000,-.
Ternyata di pangkalan tersebut angkot tidak tersedia. Hari semakin sore, akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki sebagai backpacker menyusuri jalan beraspal yang sudah mulai rusak butuh perbaikan. Apalagi ini jalur wisata harus benar-benar mendapat perhatian serius untuk menunjang perkembangan wisata di daerah Cianjur tersebut.

Kejadian naik turun ankot diselingi jalan kaki, kami alami sampai tiga kali. Hanya ketika jalan kaki kami sedikit terhibur karena melihat kemeriahan  beranekaragam hiasan di setiap rumah, dan di gang-gang perkampungan. Bahkan yang menarik ada juga warga yang membuat pocong-pocongan bergelantungan di pohon. Jika malam tiba pasti menyeramkan! Suatu semangat dan kreativitas dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia yang patut diacungi jempol.

Kira-kira pukul 19.00 WIB kami tiba di perempatan Asten. Tampa kesulitan kami mendapati angkutan minibus jurusan Bogor sedang mangkal. Setelah satu jam menunggu, akhirnya minibus berangkat hanya mengangkut empat penumpang, dan kami pun tiba kembali di Bogor sekitar pukul 22.15 WIB.

0 komentar:

Post a Comment